23 Juli 2008

Berjuang Itu Tidak Mustahil; Jika Punya Cita-cita

Rabu, 2008 Juli 23
Konferensi GSPB di Bekasi


Berjuang Itu Tidak Mustahil; Jika Punya Cita-cita[1]

Merebut Kendali Pabrik ke Tangan Persatuan Buruh—Belajar dari Perjuangan yang Berhasil

Zely Ariane[2]




A. Apa Cita-cita Perjuangan Buruh?

Silahkan kawan-kawan memikirkan dan memberikan pendapatnya.

B. Mengapa Harus Berjuang dan Membangun Gerakan?

* Tidak ada belas kasihan dari pengusaha/pemilik modal dan pemerintah/Negara, terhadap perubahan nasib buruh dan peningkatan nilai kemanusiaan kaum buruh (upah dan hak-hak normatif, status dan kondisi kerja, jam kerja yang lebih pendek—agar buruh dapat berekreasi dan memperluas pengetahuannya tentang dunia).

* Kepentingan buruh dan pengusaha/pemilik modal saling bertolak belakang (buruh ingin upah tinggi-pengusaha ingin upah rendah; buruh ingin kerja tetap-pengusaha ingin kerja kontrak; buruh ingin lebih punya waktu untuk berbahagia sebagai manusia-pengusaha mendesakkan lembur dengan upah yang tak setimpal dengan kehendak kebahagiaan buruh—malah banyak yang tidak diupah). Pendek kata: untuk setiap sen penambahan dan penumpukan (akumulasi) kekayaan para pemilik modal, mengharuskan pemotongan (lebih tepatnya pencurian) ribuan sen penghasilan dan hak buruh sebagai manusia.

* Buruh adalah bagian dari klas pekerja yang lebih berkepentingan (dan lebih tertarik) akan beroperasinya pabrik secara layak dan berkesinambungan—karena pada kenyataannya tangan dan pikiran buruhlah yang menjalankan pabrik.

* Perjuangan adalah nyawa kaum buruh; tanpa berjuang, hilanglah nilai kaum buruh sebagai manusia yang punya cita-cita dan berakal sehat (tak lebih dari sekedar mesin tak bernyawa dan tak berkehendak).

* Agar berhasil, perjuangan membutuhkan alat yang disebut organisasi dan metode yang disebut gerakan/pergerakan (yaitu mobilisasi keterlibatan kaum buruh dan rakyat miskin lainnya dalam suatu persatuan perlawanan yang memiliki cita-cita berkelanjutan). Seluruh perjuangan yang berhasil meningkatkan hak-hak buruh serta hak-hak rakyat miskin lainnya, selama ini, merupakan hasil dari gerakan—bukan belas kasihan/derma dari para pemilik modal dan pemerintah/negara.

* Organisasi yang profesional, militan (tidak gampang menyerah), dengan partisipasi penuh seluruh anggota dalam mengontrol (memegang kendali) arah dan jalannya organisasi, serta gerakan yang kuat dan berdaya pukul, adalah LEBIH PENTING DAN MENENTUKAN daripada seorang pemimpin yang dianggap baik.

C. Dua Contoh Persatuan Gerakan dan Keberhasilan Perjuangan[3]

* Gerakan internasional untuk Pengurangan jam kerja dari 12-10 jam/hari menjadi 8 jam/hari

Perjuangan demi jam kerja yang lebih pendek di Amerika Serikat (AS) dimulai pada abad ke-18, bahkan sebelum serikat buruh pertama terbentuk. Tujuan nya adalah sepuluh-jam (10 jam) kerja dalam sehari. Mereka berpendapat bahwa sepuluh-jam kerja dalam sehari dibutuhkan bukan saja untuk melindungi kesehatan para buruh, tapi juga karena jam kerja yang panjang dan melelahkan merupakan hambatan bagi perubahan yang lebih besar; yang memuakkan, kejam, dan tidak adil, yang memaksa cara kerja mekanik yang melelahkan/menguras tenaga fisik dan mental.

Perserikatan Buruh Internasional (The International Workingmen's Association), yang juga dikenal sebagai Internasional Pertama (First International), mengeluarkan pernyataan: “batas legal jam kerja merupakan syarat awal untuk perbaikan dan pembebasan kelas buruh... Fakta bahwa buruh di Eropa dan A.S. sedang menuntut dan mogok demi delapan jam-kerja, menunjukkan bahwa tuntutan tersebut sudah bersifat umum, maka selayaknyalah Kongres (AS) sah kemudian merubah tuntutannya menjadi ketentuan kebijakan tuntutan umum Buruh Sedunia.

Respon yang ampuh adalah membuat tuntutan jam kerja yang lebih pendek menjadi tuntuan internasional, yang diajukan oleh gerakan buruh nasional, sebagai jalan terbaik untuk menyanggah penolakan para majikan—yang mengatakan bahwa jika tuntutan tersebut disetujui maka, secara relatif, akan tidak menguntungkan bagi majikan di negeri satu ketimbang majikan di negeri lain.

The Federation of Organized Trades and Labor Unions of the United States and Canada/Federasi Serikat Pekerja Terorganisir Seluruh Amerika Serikat dan Kanada (Cikal Bakal Federasi Buruh Amerika Serikat—AFL), yang didirikan pada tahun 1881, dalam konvensinya pada tahun 1884, menyerukan untuk mengorganisir perjuangan tuntutan tersebut pada tanggal 1 Mei, 1886. Tuntutan ini diarahkan untuk mogok secara besar-besaran menentang majikan-majikan yang masih membangkang. Dan memang terjadi mogok besar-besaran pada hari itu.

Pemogokan tersebut memberikan landasan (konteks) bagi apa yang terjadi pada tanggal 4 Mei, 1886, yakni tragedi Lapangan Haymarket. Pada tanggal 4 Mei, pada penutupan pertemuan, mereka memprotes tindakan kekerasan yang dilakukan polisi dalam menghadapi pemogokan buruh¾satu kekuatan besar polisi bersenjata masuk ke lapangan dan memaksa pertemuan itu dihentikan. Sebelum ada satu tindakan apapun, sebuah bom dilempar ke arah massa aksi. Satu polisi meninggal saat itu juga; yang lainnya luka-luka. Polisi menjawabnya dengan menembaki buruh yang sedang berkumpul.

Pimpinan-pimpinan pengusaha dan pemerintah, yang takut akan peningkatan kekuatan gerakan buruh, mengambil keuntungan dari kejadian Haymarket. Polisi menangkap delapan orang pimpinan buruh dan mendakwanya melakukan pembunuhan terhadap seorang polisi di lapangan Haymarket, meskipun sebenarnya sebagian dari mereka bahkan tak hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka didakwa telah menyemangati pelemparan bom melalui pidato-pidatonya. Kedelapan yang ditangkap tersebut kemudian dinyatakan bersalah dalam suatu pengadilan yang sangat curang; empat orang dihukum gantung, yang satu nampaknya bunuh diri. Tiga lainnya yang selamat akhirnya diampuni. Martir perisatiwa Haymarket kemudian menjadi simbol Hari Buruh 1 Mei (May Day).

Walupun terdapat penidasan yang sangat sering, gerakan buruh berlanjut dengan serangan-tuntutan delapan jam kerja. AFL, pada konvensinya tahun 1888, menyetujui resolusi yang menargetkan 1 Mei, 1890, sebagai hari bagi buruh untuk melancarkan aksi pemogokan demi mencapai tujuannya. Kampanye pendidikan dan organisasional, termasuk demonstrasi, dilaksanakan sebagai persiapan sebelum pelaksanaan agenda 1 Mei tersebut.

Karena tak sanggup mengorganisir pemogokan umum pada tanggal 1 Mei, AFL akhirnya memutuskan suatu strategi agar satu kelompok buruh bertugas menyebarluaskan perjuangan tersebut. Pada tahun 1890, sektor tukang kayu lah yang memulainya. Buruh lainnya diminta mogok kalau mereka sanggup, tapi seluruh buruh didorong untuk menunjukkan dukungannya terhadap tuntutan tersebut. Buruh terus melihat 8 jam kerja sebagai sutu langkah di dalam perjuangan yang lebih besar untuk menentang kapitalisme. Pengertian tersebut ditunjukkan oleh slogan yang dipampangkan pada spanduk yang dibawa oleh para demonstran New York (dalam pertemuannya): TAK ADA LAGI MAJIKAN—PERBUDAKAN UPAH HARUS BERAKHIR DAN 8 JAM PERHARI ADALAH LANGKAH SELANJUTNYA DALAM GERAKAN BURUH PERSEMAKMURAN SOSIALIS (SEBAGAI TUJUAN AKHIRNYA).

Terdapat pemogokan yang lebih banyak/besar pada tanggal 1 Mei, 1890, ketimbang yang pernah ada sebelumnya dalam sejarah A.S.. Hari tersebut juga merupakan bukti kesanggupan buruh melakukan aksinya menjadi hari aksi internasional. Pemogokan dan demontrasi terjadi di kota-kota industri utama di dunia.

Tapi, saat waktu berlalu, kemenangan demi kemenangan, sebagaimana juga kekalahan demi kekalahan—dan bahkan lebih banyak penindasan—lambat laun melemahkan gerakan dan tradisi yang dapat menghidupkan semangat revolusioner Hari Buruh 1 Mei. Pemerintah A.S. mengabadikan Hari Buruh 1 Mei dengan satu hari libur, yang katanya akan menginspirasikan negeri-negeri lainnya, dan mengajukannnya sebagai hari libur resmi di A.S. Pada tahun 1995, pemerintah A.S. mengumumkan Hari Buruh 1 Mei sekadar sebagi Hari Penghormatan (Loyalty Day).

Walaupun kapitalis dan para pendukungnya tak lagi takut akan Hari Buruh 1 Mei, para aktivis masih bisa belajar sejumlah pelajaran penting dari sejarah perjuangan menuntut hari kerja yang lebih pendek. Di antara yang sangat penting adalah: tuntutan spesifik (khusus) untuk perubahan harus lah ditempatkan dalam konteks yang lebih besar dan revolusioner (mendasar). Solidaritas harus dibangun dengan menggarisbawahi kepedulian nasional bersama dan menciptakan kerangka untuk menghubungkannya secara nasional. Dan, keberhasilan kampanye akhirnya tergantung pada kekuatan gerakan-gerakan yang memajukannya

* Perlawanan Terhadap Pabrik-pabrik Kecil yang Buruk Kondisi Kerja dan Upahnya

Perlawanan terhadap pabrik-pabrik kecil yang buruk kondisi kerja dan upahnya (anti-sweatshop) dimulai pada tahun 1990-an di Amerika Serikat, sejumlah kelompok mulai mengarahkan sasaran pada perusahaan-perusahaan yang menjual busana dan alas kaki seperti GAP dan Nike karena praktek-praktek brutal sub-kontraktornya yang beroperasi di dunia ketiga. Praktek-praktek yang disoroti tersebut termasuk mempekerjakan buruh anak, kondisi-kondisi kerja yang tidak aman dan biadab, upah yang tak mencukupi, penindasan anti-serikat buruh, dan jam kerja yang semena-mena. Para aktivis anti-sweatshop membangun koalisi dengan serikat buruh, kelompok-kelompok komunitas dan hak-hak azasi manusia, dan LSM dunia ketiga untuk mengorganisir demonstrasi-demonstrasis dan boikot konsumen untuk menuntut keadilan bagi buruh dunia ketiga.

Namun demikian, semua perusahaan terus menolak meningkatkan upah dan hak-hak mendirikan serikat buruh. Secara umum, semua industri busana dan alas kaki terkemuka telah memfokuskan enerjinya dalam mencoba menyingkirkan issue tersebut dari pandangan umum dengan menggunakan Fair Labor Association/Asosiasi Hubungan Kerja yang Adil (FLA). FLA didirikan pada tahun 1998 sebagai hasil pertemuan—yang diselenggarakan oleh Gedung Putih (kantornya Presiden AS)—yang di dalamnya termasuk perusahaan-perusahaan, serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok hak-hak azasi manusia dan keagamaan. Bertentangan dengan janjinya semula, FLA jelas-jelas hanya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan besar (korporat). Tak ada yang dikerjakannya untuk menjamin upah yang layak atau jam kerja yang manusiawi; sistim pengawasan yang dibentuknya dikuasai oleh perusahaan dan terbatas ruang lingkup kerjanya; dan mekanisme pemaksanya hampir-hampir tak ada.

Di bawah payung United Students Againts Sweatshops/Persatuan Mahasiswa Melawan Buruknya Kondisi Kerja dan Upah (USAS), para mahasiswa menuntut produk-produk berlisensi-sekolah harus diproduksi di bawah syarat yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan buruh di negeri-negeri dunia ketiga[4]. Itu artinya buruh harus dibayar sesuai dengan standar hidup negeri-tertentu, mempunyai hak untuk berserikat tanpa rasa takut mendapatkan tindakan balasan, dan menikmati kondisi kerja yang aman. Walaupun sejumlah akedemi dan universitas setuju menandatangani kode etik pelaksanaan (codes of conduct) yang sesuai dengan tuntutan tersebut, namun tak ada mekanisme untuk menjamin kepatuhan perusahahaan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, USAS membangun organisasi pengawasan sendiri (yang mendapat masukan dari kelompok-kelompok hak-hak azasi manusia di dunia ketiga), Worker Rights Consortium/Konsorsium Hak-hak Buruh (WRC). Mahasiswa-mahasiswa tersebut sekarang bekerja untuk memaksa sekolah-sekolahnya keluar dari FLA dan bergabung dengan WRC.

Dikobarkan oleh aksi-aksi anti-WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) di Seattle, para mahasiswa melancarakan aksi duduk dan penutupan sekolah (yang militan dan bersemangat tinggi) seperti di universitas-universitas seperti University of Johns Hopkins, University of Michigan, University of Oregon, University of Pennsylvania, University of Wisconsin. Beberapanya berhasil dimenangkan. Pada bulan Februari, 2000, University of Pensylvania telah menjadi sekolah pertama yang keluar dari FLA, tak lama kemudian diikuti oleh University of Wisconsin dan University of Johns Hopkins. Pada bulan yang sana, University of Michigan, University of Indiana dan Obelin College setuju bergabung dengan WRC.

Para aktivis mahasiswa juga bekerja keras untuk menempatkan gerakan anti-sweatshop dalam konteks politik yang lebih luas. Contohnya, Komite aksi Mahasiswa-buruh di University of Johns Hopkins menuntut tak hanya universitasnya keluar dari FLA dan bergabung dengan WRC, tapi juga setuju untuk membayar upah yang layak terhadap semua kerja di Johns Hopkins sendiri (termasuk yang dipekerjakan oleh sub-kontraktor), dan mendirikan komite gabungan untuk mengawasi praktek perburuhan di sekolahan. Sampai bulan April, 2000, kemenangan-kemenangannya adalah termasuk mundurnya University of John Hopkins dari FTA dan komitmen untuk meningkatkan upah buruh yang dibayar paling rendah, sebagaimana juga memberikan laporan tentang kebijakan-kebijakan konpensasi/ penggajian setiap tahunnya. Mahasiswa-mahasiwa tersebut juga memenangkan dukungan dari kelompok pengorgnisasian masyarakat, SMA setempat, serikat-serikat buruh, gereja, dan dewan kota. Mereka bisa memaksa sekolah mereka sebagai majikan (swasta) pertama yang menerapkan kesepakatan upah yang layak.

D. Kendali Buruh terhadap Produksi (di Pabrik) adalah Kunci Perubahan Nasib Buruh

Pernahkah disela-sela waktu kerja yang padat, kawan-kawan buruh sempat berfikir: “mengapa barang-barang/jasa yang diproduksi oleh kaum buruh (yang sangat berlimpah) justru tidak dapat dinikmati (dibeli) oleh kaum buruh sendiri?”. Mari kita fikirkan dan jawab hal tersebut bersama-sama.

Barang-barang yang berlimpah tersebut selalu mahal harganya (kalaupun ada yang murah—seperti barang-barang dari China, pasti dengan kualitas yang jelek). Mahalnya harga disebabkan oleh kepemilikan modal ditangan segelintir kapitalis (pemilik modal). Harga ditentukan oleh para kapitalis raksasa/yang bermodal besar/korporat. Dan produksi barangpun ditentukan oleh para kapitalis berdasarkan kehendak untuk terus menerus memperbesar keuntungan dan modalnya; bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Itulah yang disebut sebagai segitiga kapitalisme, yakni: (1) kepemilikan pribadi, (2) eksploitasi buruh, (3) produksi untuk profit. Makanya jangan heran kalau, misalnya, HP Nokia terus menerus produksi yang baru—dan konsumen digoda untuk mengganti HP’nya, padahal jenis HP sebelumnya masih baik berfungsi, dan konsumen belum tentu butuh barang-barang baru tersebut.

Oleh karena itulah, kendali (kontrol) terhadap produksi harus dilakukan, agar barang diproduksi sesuai kebutuhan dan terjangkau oleh masyarakat. Untuk bisa melakukannya, maka perlawanan terhadap kapitalisme mutlak dibutuhkan dengan (1) kepemilikan sosial, (2) produksi sosial yang dirganisir oleh buruh, dan (3) produksi berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Di dalam tulisan ini, kita akan khusus membahas mengenai syarat, proses dan kendala contoh-contoh pengalaman keberhasilan produksi (di pabrik) yang berada di bawah kendali persatuan buruh. Tentu saja syarat, tipe, dan metode berikut ini akan berbeda-beda antara antara satu tempat dengan tempat lainnya, tergantung kondisi objektif dan subjektif perjuangan rakyatnya.

a. Syarat-syarat keberhasilan pengendalian produksi pabrik oleh buruh:

o Buruh harus sadar bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha/majikan/pemilik modal, bukanlah hubungan yang setara/harmonis dan tidak akan bisa setara/harmonis. Hubungan tersebut bersifat eksplotatif (pengusaha memiliki dan memeras tenaga kerja buruh tanpa hak-hak/imbalan yang setimpal).

o Adanya persatuan kaum buruh yang sadar bahwa alat produksi (dalam hal ini adalah pabrik) harus berada dibawah kendali buruh (rakyat pekerja), bukan kendali para pemilik saham/modal.

o Adanya persatuan buruh yang punya cita-cita lebih maju dari sekadar perjuangan pemenuhan hak-hak normatif—yang tidak akan tuntas jika kaum buruh tidak mengambil alih kontrol pabrik hingga kekuasaan negara.

o Adanya persatuan gerakan (buruh dengan berbagai elemen rakyat miskin dan pro-demokratik) yang luas menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan swasta penting bagi Negara, untuk kemudian diserahkan kendalinya pada persatuan/dewan-dewan buruh.

o Adanya persatuan gerakan membangun alat politik alternatif yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat untuk merebut kekuasaan.

o Kekuasaan baru yang harus menjalankan program pemusatan seluruh sumber pembiayaan dalam negeri untuk membiayai kebutuhan darurat rakyat dan pengembangan industri nasional; pengambilalihan industri vital dibawah kendali rakyat; demokrasi yang mendorong partisipasi aktif rakyat.

o Kontrol buruh harus berskala nasional dan diperluas agar dapat mengatasi semua kepentingan kapitalis; bukan diorganisir secara insidental, tanpa sistem; namun terencana baik dan tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan kehidupan industri negeri. Oleh sebab itulah persatuan antar buruh-buruh dari pabrik-pabrik yang sudah diambil allih dengan organisasi-organisasi rakyat lainnya, mutlak diperlukan.

b. Proses pengambilalihan kendali dan jenis-jenis pengelolaan pabrik di tangan buruh

o Di Venezuela, suatu negeri sosialis yang baik pada rakyatnya, proses pengambilalihan (nasionalisasi) terhadap industri yang penting bagi Negara dan perusahaan yang ditinggalkan oleh para pengusahanya; sudah dan sedang terus dilakukan. Sebelumnya, pengalaman serupa juga pernah dilakukan negeri-negeri lain (baik yang berhasil maupun yang gagal) seperti Rusia (setelah Revolusi 1917), Yugoslavia, Kuba, Argentina, dan Brazil. Masing-masing pengalaman tersebut akan ditulis di dalam tulisan yang berbeda dengan lebih detail. Dalam kesempatan ini, kita akan sedikit membedah pengalaman di Venezuela.

o Pengambilalihan kendali pabrik oleh pemerintah Venezuela dilakukan dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama dimulai tahun 2007 dengan fokus pengambilalihan terhadap sektor-sektor perusahaan listrik, telekomunikasi, dan perminyakan, sebagai bagian dari perjuangan menuju sosialisme. Gelombang kedua dilakukan terhadap sector konstruksi dan makanan, yakni: industri semen (meliputi hampir 40 pabrik), peternakan dan industri susu—melanjutkan pengambilalihan terhadap 32 lahan pertanian berskala besar. Sedangkan industri seperti mineral, metal, bauksit, batubara, dan baja, memang tidak pernah diprivatisasi (dijual ke tangan swasta).

o Sejak pemerintahan Hugo Chavez berhasil memenangkan kekuasaan pada tahun 1998, berbagai paket perundang-undangan yang melindungi hak serta partisipasi buruh (dan rakyat miskin) diterapkan. Hasilnya, dihampir seluruh perusahaan, berbagai serikat baru tingkat pabrik berkembang. Hukum perundang-undangan yang baru memungkinkan kaum buruh menyelenggarakan referendum (penentuan pendapat) untuk memutuskan siapa yang akan menjalankan perjanjian bersama (semacam PKB) di pabrik, yang kemudian membuka kesempatan bagi lapisan pejuang buruh militan untuk muncul dan mengambil tanggung jawab.

o Di tahun 2005, banyak pabrik yang tutup dan diambilalih serta dijalankan oleh pekerja. Sebanyak 800 pabrik tutup diseluruh negeri (kebanyakan karena ditinggal oleh pengusaha yang anti Chavez), dan sejak November 2006 lebih kurang 1200 pabrik sudah diambilalih oleh kaum buruh. Namun di tahun 2008, hanya sedikit yang bisa bangkit kembali, dan dalam beberapa kasus, dikelola dibawah manajemen koperasi buruh atau ada juga yang gagal beroperasi.

o Pendudukan Pabrik Pengelola Limbah Padat di Merida. Di bulan September 2007, setelah memperoleh gaji, kaum buruh pabrik tersebut menduduki instalasi pabrik dan menuntut agar pemilik perusahaan angkat kaki, kemudian mereka mengambilalih kantor dan menuntut agar administrasi pabrik tersebut berhenti.

o Re-nasionalisasi Pabrik Baja SIDOR di kawasan Industri Guayana. SIDOR adalah salah satu industri baja raksasa paling penting di Venezuela dan Amerika Latin. Setelah mengambil alih pabrik, dan dekrit Presiden Chavez melegalkan pengambilalihan tersebut tgl 9 April 2008, mayoritas kaum buruh menunjukkan efisiensi yang lebih baik dalam produksi dan pelayanan sosial, daripada yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis transnasional dan nasional manapun. Dalam masa kejayaannya, kaum buruh menunjukkan kemampuannya dalam menggandakan level produksi. Sambil menunggu Negara mengambil alih administrasi pabrik, sejak 10 April 2008, kaum buruh dibeberapa bagian mulai terorganisir ke dalam komite-komite pengawasan dan kontrol pabrik—tepat sebelum dimulainya sabotase pemilik lama terhadap sistem informasi. Tujuannya adalah untuk menghambat sabotase peralatan, kontrol produksi, dan serangan dari supervisor atau para bos lainnya. Kehendak para pekerja SIDOR adalah mengelola produksi dan administrasi perusahaan tersebut. Mereka juga mempersiapkan proposal mengenai pengelolaan SIDOR yang baru, yang menyatakan bahwa pengelolaan oleh buruh tidaklah mustahil bahkan bisa lebih baik dan efisien dengan hasil yang baik.

o Pengelolaan Perusahaan Listrik CADAFE. CADAFE adalah perusahaan milik Negara yang memroduksi 60% listrik Venezuela dengan 34.000 pekerja. Setelah perjuangan panjang memenangkan hak untuk berpartisipasi di dalam kontrak perjanjian, serta mendirikan dewan-dewan buruh untuk membuatnya menjadi kenyataan, manajemen perusahaan mulai menghancurkan partisipasi riil buruh, membatasinya hanya pada keputusan-keputusan yang tidak penting. Bagian dari birokrasi yang masih korup dan pro-kapitalis di pemerintahan Chavez-lah yang menyebabkan kekalahan tersebut. Banyak proposal yang diajukan oleh kaum buruh menyangkut pengelolaan pabrik, namun, sangat sedikit yang diterapkan. Dari lima-anggota komite koordinasi yang dibentuk untuk pengelolaan bersama, dua posisi dicadangkan untuk ditunjuk dan tidak bisa di recall. Presiden perusahaan tersebut juga tidak diarahkan untuk menerima instruksi dari badan tersebut. Pihak manajemen mengatakan bahwa tidak perlu ada partisipasi kaum buruh dalam industri strategis.

Sementara itu, terdapat jenis pengelolaan yang berbeda terjadi di anak perusahaan CADAFE, Cadela-Mérida di Zona Andean. Disana terdapat partisipasi bersama antara pekerja, para eksekutif, dan organisasi komunitas setempat. Presiden Cadela dinominasikan dan dipilih oleh mayoritas kaum buruh di lokasi tersebut. Pelayanan meningkat, keuntungan juga lebih tinggi, dan layanan pekerjaan diberikan ke banyak koperasi (lebih dari 375 koperasi hingga akhir 2004)—daripada memberi kontrak pelayanan ke perusahaan swasta. Jenis kendali buruh atas produksi antara CADAFE dan anak perusahaannya Cadela-Merida, memiliki perbedaan yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

o Pengelolaan Pabrik Keramik Sanatarios Maracay[5]. Setelah persatuan buruh berhasil mengambil alih pabrik, mereka mulai menjual barang-barang persediaan dan meminta bantuan masyarakat. Produksi pun dimulai kembali. Mereka mulai membentuk dewan-dewan buruh, sebuah mekanisme demokratik pekerja untuk mengelola pengoperasian pabrik dan manajemen asset sehari-hari. Disamping berbagai kesulitan, mereka terus maju, dan menuntut nasionalisasi penuh dari pemerintah—termasuk meminta bantuan pemerintah dalam pemasaran barang-barang keramik terkait program pemerintah untuk pembuatan perumahan untuk orang miskin. Mereka juga menjual hasil produksi kepada masyarakat dengan harga yang terjangkau. Setiap minggu, pekerja yang bekerja lembur mendapatkan paket sembako; dan pembayaran gaji juga dilakukan.

o Pengelolaan Pabrik Kertas INVEVAL. Dimulai tahun 2005, pabrik kertas milik kapitalis yang bangkrut ini diambilalih oleh pemerintahan Chavez dengan suktikan modal sebesar $7 juta. Perusahaan ini diorganisir sebagai perusahaan-yang-dimiliki buruh, yakni keadilan kepemilikan antara buruh (51%) dan pemerintah (49%). Peningkatan penghasilan dari produksi akan digunakan oleh kaum buruh untuk kemudian membeli saham pemerintah, dan hanya akan menyisakannya sebanyak 1% saja. Pemilikan semacam ini menyebabkan kontroversi di kalangan buruh dan aktivis sosialis, yang menganggap bahwa kepemilikan buruh tersebut tidak ada bedanya dengan kepemilikan kapitalis—hanya beda dalam jumlah pemilik saja. Oleh sebab itulah FRETECO (Front Revolusioner Pekerja Pabrik-pabrik dibawah Kendali Buruh) menuntut pengambilalihan penuh oleh pemerintah.

Terdapat Dewan Buruh yang terdiri dari Majelis Umum Pekerja (pembuat keputusan tertinggi) di pabrik, serta Komisi Permanen yang dipilih untuk posisi-posisi seperti Keuangan, Formasi Politik dan Sosial, Komisi Teknik, Administrasi, Disiplin, Keamanan dan Kontrol, serta Pelayanan. Seluruh orang yang dipilih dapat dipecat melalui sidang Majelis Umum Dewan Buruh. Untuk mengatasi pemisahan kerja intelektual atau admisitratif dengan kerja manual, mereka merotasi berbagai jenis pekerjaan, mengombinasikannya dengan diskusi politik di dalam dewan buruh, pendidikan untuk pengembangan kolektif, pelatihan-pelatihan teknik.

Pengalaman lain yang penting adalah hubungan dewan buruh dengan komunitas setempat. Tidak saja pabrik menyediakan ruang bagi program-program pendidikan dan kesehatan komunitas, namun juga dewan buruh berpartisipasi dalam dewan komunal setempat. Dewan buruh mengirimkan delegasi ke dewan komunal, begitupun sebaliknya, yang dapat diterapkan juga dalam skala federasi dewan buruh dan dewan komunal yang lebih luas dalam rangka untuk membangun struktur-struktur kekuasaan rakyat sejati.

o Pabrik Alumunium ALCASA. Bisnis kapitalis yang berdiri sejak tahun 1967 ini mulai melaksanakan praktek manajemen buruh di tahun 2005—juga atas dukungan Chavez. Proses ini ditandai dengan pendirian majelis buruh terbuka, pendiskusian 18 poin proposal untuk meluncurkan kembali pabrik, serta proses pemilihan manajemen baru melalui pemilihan tertutup. Dari 2700 pekerja di ALCASA, 95% berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Kaum buruh juga memilih 36 juru bicara bersama dengan manajemen untuk membuat keputusan. Proses manajemen ini sudah berjalan tiga tahap, dan berhasil meningkatkan produksi, dan meningkatkan kondisi kerja. Tahap kedua difokuskan untuk pengembangan manajemen dan startegi baru perusahaan. Dalam tahap ketiga diskusi dan perdebatan menyangkut memanusiawikan tenaga kerja, termasuk pengurangan hari kerja, demokrasitisasi pengetahuan untuk mengurangi pembagian kerja sosial di dalam pabrik, serta desentralisasi keputusan melalui pembangunan dewan-dewan buruh.

Untuk itu mereka membangun pusat pelatihan sosial politik, sehingga kaum buruh dapat terlibat dalam proses yang ada. Pada awalnya para pekerja kerap dituduh sebagai komunis, garis keras atau sejenisnya. Namun sedikit demi sedikit kaum buruh mulai terlibat dalam pelatihan tersebut, dan kini beberapa ratus buruh mulai terlibat.

ALCASA tetap dimiliki oleh Negara. Berbeda dengan INVEVAL, dewan buruh di pabrik ini tidak menghendaki model manajemen yang mendistribusikan modal kepada seluruh pekerja atau mendekatkan buruh dengan modal, atau pembagian saham diantara mereka. Menurut mereka manajemen bersama tersebut tidak dibatasi hanya pada perusahaan semata, namun harus meliputi pengelolaan bersama dengan komunitas sosial masyarakat. Walaupun untuk yang terakhir ini belum tampak keberhasilan signifikan.

Sebelum pengelolaan ini dimulai, banyak diantara buruh yang mengatakan semua pimpinan dan para direktur harus dipecati. Tapi menurut dewan buruh hal tersebut adalah hal paling akhir yang akan mereka lakukan—bahkan bisa menjadi bencana jika dilakukan. Karena pengalaman pemecatan 2000 manajer di PDVSA (Perusahaan Minyak Negara) telah membuat banyak kesulitan dalam pengelolaan dan produksi pabrik hingga saat ini. Mereka sedang membangun proses dari bawah, pemilihan di tiap workshops, dalam tiap grup delagasi juru bicara. Suatu sistem pemilihan langsung, kontrol dan akuntabilitas, penggiliran tugas, dst.

Tim kepemimpinan juga semakin meluas. Untuk setiap satu orang pimpinan lama, mereka memilih tiga orang baru. Kemudian terdapat 300 delegasi jurubicara yang dipilih dari tingkat paling bawah oleh buruh. Belakangan ini, setap departemen memiliki “dewan administratif” dengan juru bicara yang dipilih di tiap tim untuk mendiskusikan dan merencanakan persoalan-persoalan produksi.

c. Kendala-kendala pengendalian pabrik oleh buruh

o Pemilik pabrik lama seringkali memecah persatuan serikat buruh dengan membuat serikat buruh tandingan yang anti terhadap kontrol buruh di pabrik.

o Dalam beberapa kasus, perusahaan-perusahaan yang ditinggal kabur pemiliknya juga meninggalkan hutang yang harus ditanggung oleh manajemen buruh yang baru. Hutang-hutang atau tagihan bisa mengancam kelancaran produksi.

o Bahan mentah menyusut dan tanpa modal, kredit, dan legitimasi yang sah, maka akan sulit diperoleh kembali.

o Kultur/kebudayan buruh yang masih terbelakang, yakni ketika buruh bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang, dan tidak sedikitpun punya visi untuk membangun ekonomi negeri dan menciptakan tatanan masyarakat baru.

o Polarisasi dan fragmentasi yang tajam antara seriakat-seriakt buruh yang berbeda-beda.

o Satu perusahaan yang berada dibawah kendali buruh, terletak ditengah-tengah kawasan industri yang masih berorientasi kapitalis.

o Represi hingga penculikan dan pembunuhan oleh aparat keamanan dan pasukan preman bayaran terhadap serikat buruh yang melakukan pengambilalihan pabrik.

o Sabotase pabrik, penghancuran mesin-mesin, menghentikan layanan listik, air dan gas oleh aparat-aparat bayaran.

o Pencurian mesin-mesin bahan mentah di pabrik.

o Kelelahan berjuang akibat proses yang tidak selalu berlangsung cepat.

o Kesulitan pemasaran tanpa bantuan masyarakat dan pemerintah

o Tidak berjalannya proses partisipasi mayoritas buruh membuat lambatnya produksi berjalan; serta lemahnya kekuatan dewan buruh.

o Aristokrasi buruh—buruh yang bermental kapitalis ketika sudah memiliki alat produksi.

o Sindikalisme—pengelolaan pabrik hanya untuk pabrik-pabrik itu sendiri; tidak bersedia berada dalam satu perencanaan pengelolaan bersama secara nasional.

Kehidupan ekonomi negeri—pertanian, industri, perdagangan, transportasi—harus berada dalam sebuah perencanaan terpadu yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial masyarakat luas; hal tersebut harus disetujui oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat dan kaum buruh, dan dijalankan di bawah arahan perwakilan tersebut melalui organisasi-organisasi nasional dan lokal. Pengambilalihan pabrik dibawah kendali buruh bermakna sebagai SEKOLAH PERENCANAAN EKONOMI suatu negeri, bukan semata-mata penambahan isi kantung buruh.

E. Maknanya Bagi Perjuangan Buruh Indonesia

Ditengah kehancuran industri nasional, dan kapasitas mayoritas pekerja Indonesia yang rendah—akibat puluhan tahun tidak memperoleh hak-hak pendidikan yang layak dari Negara, perjuangan untuk mengambil kendali pabrik ke tangan kaum buruh, adalah pekerjaan yang sukar. Tapi TIDAK MUSTAHIL, apabila semakin banyak kelompok-kelompok buruh dan persatuan-persatuan buruh yang sadar akan cita-cita perjuangan buruh jangka panjang, yakni membangun suatu tatanan masyarakat yang adil secara ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Dengan kesadaran, maka selayaknyalah kaum buruh berani berjuang membela martabatnya sebagai manusia pekerja, yang berhak atas segala keindahan dan kebahagiaan di dunia. ***





[1] Suatu sumbangan semangat dan pemikiran (yang belum selesai) untuk Konferensi Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB).

[2] Koordinator Urusan Propaganda dan Pendidikan Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM); Koordinator Pendidikan dan Bacaan Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika; Juru Bicara Hands off Venezuela-Indonesia (HoV Indonesia http://indonesia.handsoffvenezuela.org); Koordinator Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL): www.amerikalatin.blogspot.com; Juru Bicara Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD): http://kprm-prd.blogspot.com; http://kprm-peoples-democratic-party.blogspot.com.

[3] Diringkas dari artikel Setelah Seattle, Pemikiran Strategis dalam Membangun Gerakan, oleh Martin Hart-Landsberg. Ia mengajar ilmu ekonomi di Lewis and Clark College di Portland, Oregon. Dia, bersama Paul Burkett, adalah penulis dari Development, Crisis and Class Struggle: Learning from Japan and East Asia (St. Martin's Press, 2000 ).

[4] Negeri-negeri yang tingkat kesejahteraan rakyatnya rendah akibat penjajahan ekonomi para pemilik modal-raksasa-asing (Perusahaan Multi-Nasional/Trans-Nasional—MNCs-TNCs).

[5] Lihat film dokumenter NO VOLVERAN tentang proses pengambilalihan pabrik keramik ini.

Tidak ada komentar: