29 April 2009

Menjelang May Day 2009





SERUAN PIMPINAN PUSAT GSPB
---ANGGOTA ALIANSI BURUH MENGGUGAT---
Kepada Kawan-Kawan Anggota GSPB dan Seluruh Kawan-Kawan Buruh

1 MEI 2009, SATUKAN BARISAN, TINGGALKAN PABRIK,
BERSAMA SELURUH KAUM BURUH INDONESIA TURUN KE JALAN!

Salam May Day !!

Beberapa hari lagi, kita-kaum buruh Indonesia akan merayakan hari buruh internasional, tepatnya, Jumat, 1 MEI 2009. Hari di mana ratusan tahun yang lalu, kaum buruh di seluruh Negara mendapatkan kemenangan 8 jam kerja, dari 16-18 jam kerja sebelumnya. Kemenangan yang didapat melalui aksi-aksi dan pemogokan-pemogokan serentak kaum buruh di berbagai Negara, dengan semangat juang dan pengorbanan.

Saat ini, kaum buruh Indonesia, sekalipun telah mendapatkan jaminan 8 jam kerja, namun dalam banyak hal yang lain, kaum buruh Indonesia masih sangat menderita. Sebelum krisis semakin parah di bulan-bulan terakhir ini, kaum buruh Indonesia, hanya mendapatkan upah minimum yang sangat kecil—yang hanya cukup untuk membayar kontrakan dan transport—selain upah, kepastian kerja juga semakin tidak jelas. Awalnya h anya bagian-bagian tertentu yang dijadikan buruh kontrak (atau outsourcing, harian lepas, borongan dll), namun lama-kelamaan semakin banyak kawan-kawan yang buruh tetap diganti statusnya menjadi buruh kontrak—yang tidak mendapatkan hak-hak kesejahteraan seperti buruh tetap—

Cilakanya lagi, krisis ternyata makin parah, sehingga ancaman bagi kaum buruh semakin besar, terutama PHK massal. Satu demi satu pabrik-pabrik di sekitar kita mulai mengurangi jam kerja, mulai meliburkan buruhnya, mulai merumahkan buruh, dan bahkan secara terang-terangan mulai melakukan phk-phk massal—seperti yang kita lihat di PT Matel Bekasi—dan lebih cilaka lagi, PHK dilakukan tanpa pesangon.

Sementara di sisi yang berbeda, kita melihat, Partai-partai politik Elit dan Elit-elit Politik, sibuk berebut kekuasaan dalam pemilu 2009 ini, bahkan dengan uang yang sangat banyak, menyogok kaum buruh dan rakyat untuk memilih mereka lagi, sekalipun merekalah yang selama ini telah menindas kaum buruh, telah menindas rakyat( dengan menjalankan system kapitalis). Dan uang hasil menindas itulah, yang dipake buat menyogok. Sangat menjijikan dan tak tahu malu, kelakuan partai-partai elit dan elit-elit politik itu. Dan hingga hari ini, tidak ada satu partai dan elit-elit politik itu yang berjuang untuk menghancurkan system kapitalis, sehingga sudah pasti jika klas buruh dan rakyat miskin tidak segera merebut kekuasaan, dan menjalankan system baru (system yang mengabdi pada kepentingan mayoritas rakyat), maka selama itu pula klas buruh semakin miskin dan melarat.

Masalah pokok dalam system kapitalisme adalah satu sisi ingin mendapatlkan untung sebesar-nesranya dengan menekan upah dan kesejahteraan kaum buruh serendah-rendahnya, sisi lain barang-barang produksi (yang dikerjakan oleh buruh, tapi diklaim sebagai milik pemodal) harus terjual habis. Tentu saja tidak mungkin terjadi, yang terjadi adalah sebaliknya, barang-barang banyak yang menumpuk (karena upah buruh tidak cukup untuk membeli), bahkan banyak yang tidak laku, akhirnya pabriknya tutup/bangkrut.

Ada cara pintas bagi kaum pemodal untuk tetap mendapatkan keuntungan, yaitu dengan menanamkan uangnya di pasar modal, dengan jual beli saham. Namun karena perdangan saham, adalah perdangan yang “fiktif” yang harga sahamnya bisa sangat jauh melebihi harga asli produksi (missal harga Rumah di perdagangan biasa, Rp 20 juta, namun di pergangan saham bisa mencapai Rp 50 juta), sehingga akhirnya harga rumah rumah di perdangan biasa menjadi Rp 50 juta, dan karena terlalu mahal, maka di berikan “kemudahan” kepada klas pekerja –yang upahnya rendah itu—dalam bentuk kredit, dan pada satu titik harga rumah terus naik,dan kredit dari klas pekerja kemudian macet (tentu saja macet, karena upah buruh selalu ditekan). Bumm, rontoklah lembaga keuangan, rontoklah pengembang perumahan dan dengan cepat di ikuti oleh rontoklah industri-industri lainnya, termasuk di Indonesia.

Indonesia menjadi lebih parah, karena hampir semua produksi kita ditujukan untuk eksport (artinya tergantung pada situasi ekonomi negara-negara tujuan eksport, yang saat ini sedang krisis parah), sehingga barang-barang hasil produksi kita saat ini tidak bisa dibeli oleh internasional. Selain itu, bahan mentah dan teknologi juga tergantung pada negara-negara lain ( yang dalam situ asi krisis, seperti sekarang bisa meningkat tinggi harganya), belum lagi ketergantungan modal yang sangat besar terhadap negara-negara lain (padahal saat ini negara-negara maju juga sangat membutuhkan modal untuk Industri di negerinya sendiri, yang juga lagi bangkrut), dan bila mereka mau memberikan hutang, maka sudah pasti bunganya akan sangat tinggi, dan dampaknya bagi kita akan terasa di kemudian hari. Akibat hutang pemerintah dan pengusaha Indonesia yang telah mencapai angka 1600 trilyun, saat ini seluruh kekayaan alam kita (tambang, hutan, laut, air, bahkan tanah) telah diberikan ke mereka-mereka yang memberikan hutang—padahal kekayaan alam ini memberikan banyak sekali keuntungan, tapi tidak untuk kaum buruh dan rakyat miskin—

Nah, elit-elit politik dan semua partai politik elit itu (termasuk para pemodal Indonesia) sebenarnya hanya menjalankan agenda-agenda Modal Internasional, sehingga kaum buruh Indonesia, dengan cara ini akan selalu miskin, melarat dan menjadi tumbal dari krisis kapitalis.

Namun sayangnya, banyak kawan-kawan yang menganggap, bahwa dalam situasi krisis ini, kaum buruh Indonesia, jangan melakukan perlawanan, jangan melakukan persatuan gerakan dengan pabrik-pabrik lain. Cukup, di pabrik saja, karena lebih aman jika kaum buruh tidak melawan. Apa betul begitu? Tentu saja tidak, karena soal krisis (di antaranya adalah PHK massal) bukan karena buruh melawan atau tidak, melainkan karena kapitalisme sedang bangkrut karena salah di sistemnya sendiri, dan yang pertama dikorbankan oleh kapitalis adalah buruh-buruh yang tidak punya kekuatan/lemah (seperti buruh kontrak, outsourcing yang belum punya serikat yang kuat), kemudian buruh-buruh tetap yang tak berserikat, kemudian buruh-buruh tetap yang berserikat tapi serikatnya adalah antek pengusaha, baru pilihannya kemudian adalah buruh-buruh yang mempunyai serikat yang kuat.

Ada juga, kawan-kawan buruh yang tidak mau berjuang melawan elit-elit politik, karena dalam pemilu legislative kemarin, terlibat dalam tim sukses salah satu caleg atau karena ketakutan. Kepada kawan-kawan ini, kita harus sabar untuk terus menjelaskan, bahwa sekalipun saudara kita yang maju menjadi calon anggota DPR/DPRD, namun mereka berada di partai busuk, partai kapitalis, di mana kebijakan partai ditentukan oleh mereka yang bermodal besar, bukan oleh mereka yang dari buruh, jikapun ada dari kaum buruh yang bisa jadi pimpinan partai kapitalis/elit itu, sudah jelas karena buruh tersebut sudah meninggalkan kepentingan kaumnya, yaitu kepentingan kaum buruh ( bukankah Yakop Nuawea, Menteri Tenaga Kerja jaman Megawati jadi Presiden dulunya juga seorang buruh, juga pimpinan SPSI, namun di tangan Yakop, UU 13/2003 yang lebih menyengsarakan buruh, justru disahkan)

Sementara di pabrik lain, ada sebagian anggota yang melihat, bahwa penyatuan mobilisasi, penyatuan kekuatan kaum buruh di May Day, tidak banyak manfaatnya bagi perjuangan kaum buruh di dalam pabrik. Apa benar demikian? Tentu saja tidak, karena dengan menghimpun kekuatan bersama, maka akan terbangun solidaritas yang semakin kuat sesama kaum buruh, sesama rakyat miskin, sehingga akan lebih mudah untuk saling memberikan dukungan (bantuan) ketika ada salah satu pabrik yang bermasalah. Dengan menghimpun kekuatan bersama pula, akan semakin kuat pula posisi tawar kita di hadapan pengusaha ketika kita melakukan perjuangan dalam pabrik (pengusaha akan melihat kita, bukan sebagai buruh di pabrik nya saja, melainkan melihat kita sebagai bagian dari kaum buruh Indonesia yang kuat karena telah bersatu)

Memang tidak mudah perjuangan kaum buruh ini, memang tidak mudah perjuangan GSPB dan serikat-serikat lainnya, namun dengan kenyataan bahwa kaum buruh Indonesia dan kaum buruh sedunia adalah kaum yang paling menentukan proses pruduksi dan distribusi semua barang dan jasa (artinya kaum buruhlah yang menciptakan peradaban, menentukan kehidupan umat manusia), maka kita yakin, bahwa perjuangan ini akan berhasil pada waktunya. Saat ini yang dibutuhkan adalah semangat juang yang tinggi, semangat berkorban (baik pikiran, tenaga maupun dana), semangat bersatu, semangat saling membantu, semangat saling mendukung dari kawan-kawan anngota GSPB maupun buruh secara keseluruhan, agar semakin hari, kekuatan kaum buruh semakin besar dan kuat.

Apalagi, saat ini sebagian besar kaum buruh, masih menjadi bagian dari serikat-serikat buruh kuning (yang pimpinannya adalah kepanjangan tangan dari pengusaha maupun pemerintah), sehingga dalam agenda-agenda perjuangan kaum buruh—termasuk may day—tidak mau terlibat, bahkan dengan berbagai upaya coba dihalang-halangi. Jika tidak berhasil membatalkan agenda aksi may day, maka akan dicoba cara lain, seperti dengan cara membelokan tuntutannya, agar tidak mengganggu kepentingan pengusaha, atau dengan cara lain seperti membatasi keterlibatan anggotanya, sehingga cukup perwakilan 1-2 dua orang saja, atau dengan bentuk acara yang berbeda, entah dengan seminar, entah dengan tatap muka ke pejabat, entah dengan acara musik dan lain sebagainya.

Kita tentu saja tidak menolak metode-metode itu, namun untuk 1 MEI 2009, kita tidak akan melakukannya, karena 1 MEI bagi kita adalah hari di mana kaum buruh sedunia, sedang memperingati hari kemenagan terhadap kaum pemodal pada jaman dulu, sekaligus sebagai hari untuk memperjuangan kepentingan kaum buruh pada jaman sekarang, dengan seluruh kekuatan dan sumber daya yang ada, yaitu dalam bentuk AKSI MASSA, dalam bentuk DEMONSTRASI, dalam bentuk RALLY-RALLY MASSA.

Dengan AKSI MASSALAH, kaum buruh mampu memecahkan rasa ketidakberdayaannya, rasa rendah dirinya. Dengan AKSI MASSALAH, kaum buruh sedang menempa dirinya untuk perjuangan jangka panjangnya, termasuk mempertinggi solidaritasnya, karena bertemu dengan kawan-kawan buruh dari pabrik lain, dengan kawan-kawan buruh dari serikat lain, bahkan bertemu dengan kawan-kawan buruh dari kota lainnya, yang juga mempunyai masalah yang sama dengan masalah di pabrik kita, di tempat kerja kita.

AKSI MASSA juga sekaligus sebagai unjuk kekuatan kaum buruh agar lebih di dengar, bahkan agar tuntutannya dipenuhi (siapa diantara kita yang berani mengatakan bahwa Rencana Revisi UU 13/2003 yang merugikan kaum buruh, pada tahun 2006 bisa dibatalkan bukan karena aksi massa, karena demontrasi kaum buruh di seluruh Indonesia), karena berbicara soal perjuangan adalah berbicara soal kekuatan, siapa yang kuat, maka dia yang akan menang (apalagi yang kuat adalah pihak yang benar)

Oleh karena itu, bagi anggota GSPB yang sadar dan berani, bagi kawan-kawan buruh yang mau berjuang, kami serukan:

BERGABUNGLAH DALAM AKSI MASSA BESAR-BESARAN
ALIANSI BURUH MENGGUGAT,

JUMAT, 1 MEI 2009
JAM 10.00 wib DI BUNDERAN HI MENUJU ISTANA NEGARA
(SHOLAT JUMAT AKAN DI SELENGGARAKAN DI SANA)

Seruan ini di dukung oleh : PRMJ, PPRM, JNPM, SPI, LMND-PRM
(sekretariat: Jl Lapangan Bekasi Tengah, No 16 A—Kec Bekasi Timur. Telp/Fax: 021 88353230.
Web Blog:www.solidaritas-buruh.blogspot.com, Email: pp.gspb@arahgerak.co.cc)


Pusat informasi untuk Bekasi:
1.Kec. Cibitung: 02191336725-Rokhimi 2.Kec. Cikarang Barat: 081388133110- Denny, 081319711841-Topan, 081319216833-Rina 3.Kec. Medan Satria: 081807007447-Saudikin, 08159945122-Abdul . 4.Kec. Cikarang Utara: 0811189723-Karya. 5.Kec. Rawa Lumbu: 081213204471-Pak Juri

Pusat Informasi untuk Jakarta:
1.Kec. Kembangan: 02199792184-Mak Arum, 2.Kec. Salemba: 081318021276-Risna 3.Kec. Grogol: 081384774003-Beny 4.Kec. Koja-Tanah Merah: 081804095097-Dian. 5.KBN Cakung: Jumisih-08561612485

“LAWAN PEMILU ELIT 2009, LAWAN KAPITALISME!!”
“SAATNYA PERSATUAN KAUM BURUH DAN RAKYAT MISKIN BERKUASA!!”

18 April 2009

Solidarity Appeal: Unite Against Capitalism and the Elite Elections

Solidarity greetings!

The current global capitalist crisis is already impacting upon the welfare of the working class in Indonesia.

Earlier this month, Indonesian Employers Association (Apindo) said the economic downturn had already forced more than 237,000 people out of work, adding that this does not reflect the actual number of layoffs as it fails to include temporary or contract workers. Many dismissals are also not being officially reported.

Thousands of other workers are facing reduced working hours or have to accept less than the minimum wage. Large numbers of workers are also loosing their jobs to outsourcing while others are being forced to have their status changed to contact workers, meaning they can be dismissed arbitrarily without severance pay.

In addition to this, hundreds of thousands of migrant workers are also likely to loose their jobs, with an estimated 100,000 Indonesian laborers in Malaysia expected to be repatriated this year.

And this is expected to worsen. On March 17 economists and alumni from the National Resilience Institute (Lemhannas) warned that around 1.5 million Indonesian workers would lose their jobs this year, bringing the country's official open unemployment rate to around 10.4 million.

In the midst of the inability of the ‘yellow’ or pro-government trade unions to respond to these problems, the Solidarity Alliance for Labour Struggle (GSPB) and the Politics for the Poor-Indonesian National Front for Labour Struggle (FNPBI-PRM), are endeavoring to undertake consciousness building work and the mass organisation of workers in the Jakarta satellite city of Bekasi and surrounding areas.

This work has primarily been in the form of establishing labour struggle coordination posts in poor residential areas where workers live. The coordination posts are used to distribute leaflets, hold discussions and meetings, and for film showings and education seminars. To date, nine such labour struggle coordination posts have been established in Bekasi, and this continues to expand. In addition to having to confront the global financial crisis, Indonesian workers are also faced with the legislative elections on April 9, followed by the election for president and vice-president on June 9.

For Indonesia’s poor and working class, these elections can provide little hope for change – but rather more of the pro-capitalist and neoliberal policies that have been pursued by the parties elected in 2004 elections and are leading to the growing impoverishment of millions or ordinary Indonesians. Not one of the political parties participating in the elections has a track record of fighting for the interest of the working class and the poor.

On the contrary, many of these parties are remnants of Suharto’s New Order regime or have been formed by former New Order generals, human rights violators, corrupt government officials or business tycoons.

It is because of this therefore, that on April 5 the GSPB along with a number of other organisations active in the people’s movement such as the women’s organisation Perempuan Mahardhika, the Union for the Politics of the Poor (PPRM), the Jakarta Poor People’s Union (PRMJ), the Politics for the Poor-National Student League for Democracy (LMND-PRM) and the Indonesian Buskers Union (SPI), will be holding a joint mass rally in Jakarta as part of this consciousness building work under the theme "Let’s Unite Against Capitalism, Let’s Unite Against the Elite Elections". In addition to the meeting in Jakarta, similar mass meetings will also be held in other Indonesian cities.

The mass rally in Jakarta is planned to involve some 500 people and will be held at an indoor venue. The event will involve presentation by labour movement leaders – both those involved in initiating the rally plus other invited speakers. The rally will also include a people’s poetry reading and a choir singing of songs of struggle.

The mass meeting is intended as part of preparations in the lead up to massive demonstrations on May Day this year.

MENOLAK TUNDUK PADA KEHENDAK PEMODAL DAN PARA BEGUNDALNYA

(Sebuah Reportase Aksi Penolakan terhadap SKB 4 Menteri 3 Desember 2008, dan Refleksinya)

Zely Ariane*

Selasa, 2 Desember, 2008, dalam ruangan berukuran tak lebih dari 2X3 M, sekitar 20-an perempuan anggota Pengurus Basis GSPB PT. Buana duduk berdesakan--sedangkan yang 3-5 orang (di antaranya laki-laki) sampai-sampai duduk di luar ruangan. Dengan antusias mereka mendengar penjelasan kawan Budi Wardoyo mengenai persiapan teknis aksi Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Bekasi. Pembagian tugas dilakukan: membuat bendera, ikat kepala, memesan mobil, mempersiapkan perangkat, mempersiapkan orator, hingga meminta do'a restu pada keluarga masing-masing.

Pembicaraan juga bergulir seputar program-program di pabrik yang menanti untuk dikerjakan segera: perundingan upah 2009, protes terhadap target yang tak berperikemanusiaan, pendidikan, hingga program-program luar pabrik untuk menyatukan dan meningkatkan solidaritas antar pabrik yang kawasannya berdekatan. Sesekali celoteh marah Tanih--salah seorang pimpinan basis--yang geregetan ingin menegur pihak manajemen pabrik yang menempel kliping berita menyangkut krisis global dan ancaman PHK.

Tanih menganggap tempelan itu memancing keresahan (bahkan dengan kata lain sindiran yang mengancam) kawan-kawan buruh di pabriknya--sebelum berangkat aksi Tanih dan beberapa kawan pengurus ingin menemui manajemen menuntut tempelan itu dicabut.Ingatan kembali ke hari Minggu, 7 tahun yang lalu, di kawasan industri kecil Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat, puluhan kaum perempuan dari PT AJM (pabrik roti) berkumpul di gang kecil kontrakan buruh, membicarakan taktik-taktik menuntut pesangon akibat penutupan pabrik itu.

Upah, PHK, pesangon, kebebasan berserikat, kondisi kerja dan sistem kerja kontrak, adalah persoalan-persoalan yang terus-menerus mengancam kaum buruh.Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk membereskan persoalan-persoalan tersebut? Berapa banyak aksi lagi yang dibutuhkan untuk mengatasinya? Berapa banyak lagi aksi massa dan massa aksi serikat buruh yang dibutuhkan untuk melawannya?

Kesadaran dan Persatuan

Rabu, 3 Desember, 2008, 300-an massa ABM Bekasi berjejal di depan kantor Bupati Kab. Bekasi. Para pimpinan massa menyerukan pencabutan terhadap SKB/PB 4 Menteri, pemberlakukan Upah Layak Nasional, hingga pengambilalihan pabrik yang bangkrut untuk diserahkan pengelolaannya pada kaum buruh. Ata bin Udi, Sekretaris Umum PP GSPB, menyadari kehadiran Bupati di hadapan massa, menyatakan bahwa: "persoalan kesejahteraan buruh sudah puluhan tahun tidak banyak berubah. SKB 4 Menteri hanyalah satu soal yang semakin memperparah, sehingga pencabutannya pun tidak lantas membuat kaum buruh menjadi sejahtera. Sistem kapitalisme, sistemnya kaum pemodal, adalah biang keladi kesengsaraan buruh. Apalagi para elit politik yang numpang populer dan belagak reformis pura-pura menolak SKB 4 Menteri. Kaum buruh harus sadar, bahwa tuntutan pencabutan SKB hanyalah bagian kecil dari perjuangan besar kaum buruh, yakni membangun kekuatannya sendiri, menggantikan pemerintahan kaum pemodal."

Sebagian massa aksi tampak 'berharap' dengan hadirnya Bupati. Namun sebagian lainnya--para pimpinan massa dan sebagian massa yang sudah sering mengikuti aksi--tampak jengah dengan kehadiran bupati. Tiba-tiba, seorang buruh anggota basis GSPB PT Mayora, tanpa ragu kemudian turut berorasi: "Kita tidak muluk-muluk, kalau Bapak Bupati mau menyatakan penolakan terhadap SKB untuk diterapkan di Bekasi, maka kami bisa saja mendukung Bapak." Sebagian massa bertepuk tangan; sebagian lagi tercengang-cengang dan sebal.Bupati yang berjanggut hitam dan bermuka moderat, sambil senyam-senyum mengatakan: "Kami sudah lebih dulu mengirimkan surat permintaan evaluasi terhadap SKB 4 Menteri pada pemerintah pusat... Upah di Kab. Bekasi ini sudah paling tinggi dibanding daerah-daerah lain di Indonesia". Massa berteriak "huuuuuu", dan sesekali terdengar teriakan "bohong!" "evaluasi dan pencabutan tidak sama; jangan bodohi kami" "apa upah segitu bapak pikir cukup; berapa emangnya upah bapak?" Dan Bupati, yang katanya dari Partai Keadilan Sejahtera, itupun pamit mencari selamat.

Kenyataan tersebut mengharuskan sebagian unsur maju dan pimpinan-pimpinan serikat buruh anggota ABM Bekasi bekerja keras. Penyakit kaum buruh yang tidak dan belum percaya pada kekuatannya sendiri adalah warisan sejarah Soeharto yang puluhan tahun telah membunuh kesadaran akan potensi berorganisasi dan beraksi kaum buruh. Memang, serikat-serikat buruh baru pasca reformasi bermunculan, dan ABM adalah hasil kristalisasi paling progresif dari serikat-serikat buruh baru tersebut.

Namun varian-varian serikat baru lainnya, belum serta merta lepas dari satu tipe kesadaran politik 'massa mengambang' ala Soeharto, yakni: pengurus saja yang 'berjuang', anggota tinggal bayar iuran atau siap-siap dimobilisasi saja. Apalagi bagi mayoritas (jutaan) buruh lainnya yang malah belum berserikat sama sekali, atau masih dalam cengkraman serikat-serikat buruh lama serta gadungan (hasil pasca 1998). Penyakit tidak percaya pada kekuatan sendiri bersumber pada tidak adanya pengetahuan dan kesadaran bahwa modal dan tenaga kerjanya bukanlah milik pengusaha/pemodal; pabrik bukan milik pemodal, dan buruh bukan hanya sekadar menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah.

Mayoritas kaum buruh masih berkesadaran palsu: takut dan tidak berdaya dihadapan perintah dan keputusan pengusaha/pemilik modal, sehingga takut terhadap ancaman PHK--tak berani melawan. Marx pun mungkin tercenung jika ia hidup di hari ini, karena tak seperti ucapannya--buruh tak akan kehilangan apapun, kecuali belenggunya--kaum buruh hari ini justru menjadi takut melawan karena takut kehilangan pekerjaannya.Penyakit ini harus segera diatasi. Buruh tidak saja punya tenaga untuk bekerja, tapi juga otak untuk berfikir dan belajar bagaimana mengelola pabrik dan meningkatkan produktivitas.

Buruh sebenarnya tidak membutuhkan pengusaha/pemilik modal (baca: tidak butuh kapitalisme), karena modal bisa disosialisasi oleh negara kelas pekerja kepada kaum pekerja. Modal sesungguhnya bukanlah milik pengusaha/pemodal, karena modal adalah warisan sosial atau, dengan kata lain, hasil dari hubungan produksi antara kelas kapitalis (pemodal) dan kelas pekerja, yang hasilnya dirampas oleh kelas kapitalis; namun karena kelas kapitalis mendapat "pengakuan" negara (yang mendukungnya) sebagai "pemilik alat produksi" yang "syah secara hukum", maka mereka, kelas kapitalis, diperbolehkan menghisap para pekerja upahan dan merampas surplus yang telah dihasilkan buruh upahannya.

Penyakit tidak percaya pada kekuatan sendiri juga sangat ditentukan oleh tidak adanya persatuan rakyat dan kaum pergerakan yang selama ini melawan di pentas nasional, sebagai alternatif/tandingan dari kekuatan elit politik begundalnya para pemodal. ABM menjadi harapan, setelah Front Pembebasan Nasional--yang, walaupun lebih luas partisipasi dan ruang lingkup persatuannya, namun tidak lagi kedengaran. Namun ABM saja tidak cukup. Kekuatan tandingan ini harus melibatkan seluruh sektor rakyat yang berlawan karena, saat ini, kaum buruh tidak bisa membangun landasan bagi sebuah negara kelas pekerja secara sendirian, mengingat banyak (sebagian besar) sektor-sektor lain juga disengsarakan oleh sistim kapitalisme.

Bahkan, berlawan sajapun tidak cukup. Perlawanan hari ini harus semakin meningkatkan harga diri kaum buruh untuk tidak mau disubordinasi, tidak mau dikooptasi dan tidak akan berkooperasi dengan elit-elit musuh dan penghambat perjuangan buruh. Karena sekali saja kaum buruh tertipu, maka akan semakin sulit bagi kaum gerakan untuk memunculkan kekuatan politik tandingan yang mandiri dan menasional (yang berbasiskan kaum buruh yang sadar); karena bila kaum buruh diajak untuk memberikan legitimasi pada kaum elit tersebut--dan itu artinya menyerahkan kepemimpinan kaum buruh kepada kaum elit--maka akan semakin sulit untuk menyadarkan kaum buruh akan tujuan perjuangan sejati: sosialisme.

Jadi, Jangan kaum buruh diajak untuk memberikan legitimasi bahwa kaum elit tersebut masih mau berjuang untuk rakyat dan kaum buruh--apalagi menjelang pemilu--agar kita bisa dengan segera mengalihkan kepemimpinan mayoritas (kaum buruh dan rakyat) yang masih terkooptasi kepada kepemimpinan sejatinya. Perjuangan kaum buruh sulit untuk berhasil bila sebagian besar kaum buruh masih dikooptasi oleh serikat-serikat buruh lama dan gadungan (hasil pasca 1998).

Apakah hanya pimpinan-pimpinan serikat saja yang harus sadar akan kepentingan tersebut? Tidak. Massa punya hak mendapatkan pengetahuan akan semua potensi kekuataannya. Bagaimana caranya? Dengan modal yang ada saat ini, ABM Bekasi sudah punya potensi untuk bisa melakukan rapat-rapat akbar rutin satu bulan atau dua bulan sekali, sebagai media pendidikan dan percepatan kesadaran, sekaligus konsolidasi kekuatan untuk tampil sebagai kekuatan alternatif (strategi atas) di Bekasi dan di pentas nasional.

Mungkin bisa mulai diselenggarakan pada hari minggu--karena militansi massa untuk meninggalkan pekerjaan pada hari selain hari Minggu masih rendah. Dana bisa dicicil lewat iuran yang disepakati bersama; acara disusun bersama; propaganda--yang seutuh-utuhnya--diluaskan dalam banyak selebaran; sektor-sektor rakyat miskin lainnya pun turut diajak serta. Bila kegiatan semacam ini bisa reguler dan semakin membesar, tentu semakin besar pula pengaruh politik yang dihasilkannya, tidak hanya di Bekasi, tapi juga di panggung nasional.

Dengan demikian menambah kepercayaan kaum buruh dan rakyat miskin terhadap kekuatan politiknya sendiri, artinya, peluang munculnya kekuatan alternatif/tandingan terhadap elit-elit politik, begundal para pemodal, pun semakin besar.

Di Yogyakarta, aksi Komite Rakyat Bersatu (KRB), 3 Desember, 2008, sebagai bagian dari aksi serentak ABM secara nasional, memanen penangkapan 2 orang aktivis KRB dari LMND-PRM dan PPRM karena berencana membakar foto SBY-JK dan para menteri kabinetnya. Ya, simbolisasi pembakaran foto sudah tepat (seharusnya juga ditambah dengan tanda gambar semua parpol), karena pemerintahan ini memang harus diganti; dan secara hukum tindakan tersebut tidak bisa dituntut.

Jalan Keluar

Staf Litbang PP GSPB, Danial Indrakusuma, dalam selebaran elektroniknya menyatakan bahwa ada beberapa pernyataan dan pertanyaan yang biasa diangkat untuk menurunkan moral juang buruh dalam menolak SKB/PB 4 Menteri:

Pernyataan:
SKB/PB 4 Menteri bertujuan untuk mengatasi krisis global agar tidak terjadi PHK massal; Jawaban kita: (a) krisis global/nasional terjadi karena sistim kapitalisme yang membayar buruh murah (tidak sesuai dengan nilai kerjanya yang sebenarnya) dan begitu besarnya uang yang tidak ditanam di sektor riil (tapi di usaha-usaha spekulatif keuangan, saham, portofolio, mata uang dan komoditi) sehingga, akibatnya, buruh/masyarakat tak berdaya beli; (b) karena itu, jalan keluar (terhadap krisis) yg kami ajukan (bila kami berkuasa) tak akan menghasilkan PHK massal dan krisis, karena dana yang ada di tangan kami akan digunakan untuk membangun industri nasional (lapangan kerja) di bawah kontrol rakyat dan akan membayar upah buruh secara layak. Dana tersebut kami peroleh dengan menasionalisasi aset-aset vital negara--terutama pertambangan/migas, pertanian ekspor, kehutanan, kelautan, pariwisata, kelistrikan, kimia (terutama farmasi), keairan/pengairan dll--pemusatan/pengendalian dana perbankan agar bisa disalurkan ke sektor riil rakyat/buruh/negara, penarikan dana BLBI/buyback, pemotongan bunga utang negara, penolakan/penangguhan utang LN, pajak progressif, pemanfaatan dana tabungan masyarakat (termasuk JAMSOSTEK), penyitaan harta-harta koruptor (sejak tahun 1965), kontrak-karya dengan bagi-hasil, pajak dan royalti yang menguntungkan nasional, penguasaan/nasionalisasi distribusi pertambangan dan migas, dll; (c) buruh yang di-PHK sebenarnya tanggung jawab negara; bukan malah mengizinkan pengusaha membayar buruhnya secara murah (sementara keuntungan pengusaha tidak dikurangi);

Pertanyaan: Apakah pengusaha dan buruh tidak bisa bekerja sama mengatasi krisis?;
Jawabannya: (a) pada dasarnya, tidak. Karena pengusaha dan buruh tidak bisa didamaikan--pengusaha maunya untung dengan biaya upah buruh yang rendah agar menang dalam persaingan pasar. Atau proporsi modal yang ditanamkan ke dalam alat-alat produksi akan semakin lebih besar ketimbang modal yang ditanamkan sebagai upah buruh; (b) kalaupun bisa, itu artinya buruh harus sedikit dinaikkan upahnya, dan biaya-biaya sosial buruh lainnya harus ditanggung oleh negara yang dananya diambil dari hasil pajak yang ditarik negara pada perusahaan (sebenarnya, uang buruh juga). Itulah yang namanya negara kesejahteraan, yang tak akan menyelesaikan krisis--karena tetap saja nilai pendapatan buruh tak akan bisa menggapai harga barang/jasa (yang telah mengandung nilai surplus yang akan dirampok pengusaha karena dianggap sebagai keuntungan pengusaha);

Pernyataan: Jalan keluar yang diusulkan buruh tersebut akan membuat pengusaha bangkrut;
Jawabannya: (a) kami tak perduli, karena jalan keluar yang kami ajukan tidak membutuhkan usaha ekonomi (dan pengusahanya) yang akan menimbulkan krisis (termasuk PHK massal)--yaitu usaha ekonomi yang mengizinkan aset dan tenaga produktif sosial/negara dimiliki secara individual, yang mengizinkan membayar upah buruhnya dengan murah (sehingga tak berdaya beli), dan yang mengizinkan usaha-usaha spekulatif yang mematikan sektor riil, dan yang mengizinkan menindas buruhnya secara politik/budaya agar tak melawan.

Sampai Menang!

*Staf Wakil Sekretaris Umum PP GSPB

Penggelontoran Dana Meningkatkan Daya Beli Rakyat?

Zely Ariane *

Bloomberg.com pada tanggal 24 November 2008 mengatakan bahwa, pemerintah AS menyediakan dana lebih dari AS$7,76 trilyun dari uang para pembayar pajak, setelah sebelumnya menjamin hutang Citigroup Inc sebesar AS$306 milyar, dan mengeluarkan AS$700 miliar dolar untuk menyelamatkan institusi-institusi keuangan. Jumlah itu bernilai dua pertiga dari seluruh nilai barang yang diproduksi di negeri itu tahun lalu.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Rp. 1 trilyun untuk menalangi kerugian Bank Century, dan Rp 4 trilyun untuk membeli saham-saham BUMN agar nilainya tidak melorot. Insentif fiskal, seperti penurunan tarif pajak penghasilan badan dari tiga lapisan (10%,15%,dan 30%) menjadi tunggal 28% pada 2009 dan 25% pada 2010, pun diberikan untuk para pengusaha; apalagi ketika pengusaha mengancam akan mem-PHK karyawannya.

Walaupun APBN 2009 sudah pasti defisit, tetapi tidak menyulitkan uang (likuiditas) yang ada saat ini mengucur dari kantung pemerintah ke rekening pengusaha. Kalau pemerintah AS memperoleh dana, untuk menalangi kerugian pengusaha, dari Bank Sentralnya (The Fed), pemerintah Indonesia mendapatkannya dari hutang (baru) luar negeri—karena cadangan devisa dalam negeri tak lebih dari AS$51 milyar saja.

Kepada Indonesia, Bank Pembanguan Asia (ADB) berbaik hati memberi pinjaman AS$1,5 milyar, Agence Francaise de Developpement (AFD) mengucurkan pinjaman AS$200 juta, sebagai bagian dari pembiayaan defisit anggaran yang masuk ke dalam Climate Change Program Loan. Pinjaman ini harus dibayar dalam waktu 15 tahun ke depan oleh anak-anak Indonesia yang kini sedang berada di sekolah dasar atau bahkan yang tidak bersekolah sama sekali, termasuk total hutang lama sebesar AS$62,103 miliar.

Peningkatan Daya Beli?

Semua penalangan ini, katanya, ditujukan untuk menstimulus perekonomian dan meningkatkan daya beli rakyat. Padahal sebelum krisis finansial global ini pun tingkat upah riil (dibandingkan kenaikan harga) sudah lama turun. Menurut Dr M. Hadi Shubhan, dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Unair, upah riil buruh sudah terjun bebas hampir 50 persen sejak 1997.

Bila bentuk kongkrit program peningkatan daya beli ini bukan peningkatan riil nilai upah, melainkan berbagai bentuk program penyelamatan sesaat berupa jaminan sosial, program-program padat karya yang sangat jangka pendek sifatnya (seperti yang disebutkan oleh Anggito Abimanyu), atau kemudahan kredit dengan penurunan suku bunga, maka, sebetulnya, bukan peningkatan daya beli rakyat yang menjadi tujuannya, melainkan semata-mata stimulus ekonomi (yang sifatnya sesaat dan sekali-habis).

Berapa sesungguhnya dana segar yang didapat rakyat, untuk sekadar bertahan hidup, selama ini? Sebelum gelembung krisis pecah di AS pertengahan tahun lalu, rakyat mendapat sebesar Rp. 228 M ,menurut data bulan Juni 2008, dalam bentuk Bantuan Tunai Langsung (BLT)—sebagai kompensasi BBM, Rp. 11,2 trilyun dana BOS, dan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (ASKESKIN/GAKIN) sebesar Rp. 4,6 trilyun. Itupun tidak selancar gelontoran dana yang diberikan pada pengusaha. Syarat dan birokrasi yang luar biasa rumit, dana yang tidak memadai harus diperebutkan oleh puluhan juta orang miskin (berpendapatan di bawah AS$2/hari), dan dikorupsi pula (menurut ICW, korupsi di bidang kesehatan mencapai Rp.127 milyar).

Berapa yang akan didapat rakyat untuk stimulus ekonomi di dalam APBN 2009 nanti? Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu, Bpk. Anggito Abimanyu di penghujung November 2008, proyeksi pinjaman luar negeri yang diperlukan pemerintah pada 2009 mencapai AS$5 miliar. Pinjaman itu lebih difokuskan untuk program padat karya, dalam rangka menyiapkan diri untuk menghadapi imbas krisis keuangan global.

Akar Persoalan

Krisis global/nasional saat ini terjadi karena sistim kapitalisme yang membayar buruh murah (tidak sesuai dengan nilai kerjanya yang sebenarnya) dan begitu besarnya uang yang tidak ditanam di sektor riil (tapi di usaha-usaha spekulatif keuangan, saham, portofolio, mata uang dan komoditi) sehingga, akibatnya, buruh/masyarakat tak berdaya beli.

Oleh karena itu, yang disebut sebagai program kongkrit peningkatan daya beli, yang tidak akan menghasilkan PHK masal dan krisis seharusnya, berupa penggelontoran dana segar besar-besaran untuk membangun industri nasional (lapangan kerja) di bawah kontrol dan partisipasi rakyat, dan akan membayar upah buruh secara layak. Dana tersebut diperoleh dengan (1) menasionalisasi aset-aset vital negara—terutama pertambangan/migas, pertanian ekspor, kehutanan, kelautan, pariwisata, kelistrikan, kimia (terutama farmasi), keairan/pengairan dll, (2) memusatkan/mengendalikan seluruh potensi sumber dana dalam negeri, seperti: dana perbankan agar bisa disalurkan ke sektor riil rakyat, penarikan dana BLBI/buyback, pemotongan bunga utang negara, penolakan/penangguhan pembayaran utang LN, pajak progressif, pemanfaatan dana tabungan masyarakat (termasuk JAMSOSTEK), penyitaan harta-harta koruptor (sejak tahun 1965), kontrak-karya dengan bagi-hasil, pajak dan royalti yang menguntungkan nasional, penguasaan/nasionalisasi distribusi pertambangan dan migas, dan seterusnya.

*Pjs Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat – Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (PP-GSPB)