28 Juli 2008

Berita Konferensi Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh

Buruh Harus Punya Cita-cita
oleh: Dian Septi

Sumber: blog KPRM-PRD

Kata-kata tersebut menggema di sebuah acara Konferensi taktik yang digelar oleh GSPB (Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh) pada tgl 20 Juli 2008 lalu, di gedung PKPN Kodya Bekasi. Kata-kata itupun disambut dengan gegap gempita dari sekitar 30 peserta yang merupakan perwakilan buruh dari beberapa perusahaan seperti Mayora, Nissin, Agel Langgeng dan Buana. Kata-kata itu dilontarkan oleh salah seorang pembicara dari PPRM (Persatuan Politik Rakyat Miskin), Zely Ariane. Zely menuturkan, perjuangan tidak mustahil jika kaum buruh mempunyai cita-cita. Sejarah sendiri telah membuktikan beberapa kemenangan buruh yang diraih melalui perjuangannya sendiri, seperti gerakan buruh menuntut 8 jam kerja. Kemenangan 8 jam kerja tersebut tentu tidak akan bisa diraih jika buruh tidak memperjuangkannya dengan persatuan dan kesolidan. Pengusaha tidak akan memberikan 8 jam kerja jika tidak ada tekanan dari kekuatan buruh itu sendiri.

Menurut Zely Ariane, tidak akan ada belas kasihan dari pengusaha atau pemilik modal dan pemerintah atau Negara terhadap perubahan nasib buruh dab peningkatan nilai kemanusiaan kaum buruh (upah dan hak-hak normatif, status, dan kondisi kerja, jam kerja yang lebih pendek, agar buruh bisa berkreasi dan memperluas pengetahuannya tentang dunia). Pendek kata hal itu mustahil jika buruh tidak melakukan perjuangan untuk mendapat hak-haknya. Oleh sebab itu, buruh harus mempunyai cita-cita untuk diraih. Sebuah cita-cita akan masa depan yang lebih baik dan bahwa itu tidaklah tidak mungkin terjadi, yakni merebut kendali pabrik ke tangan persatuan buruh. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka dibutuhkan sebuah alat perjuangan berupa organisasi yang militan atau pantang menyerah, dengan metode gerakan. Alat perjuangan tersebut/ organisasi tidak boleh bersandar pada pimpinan, namun harus berada dalam kontrol semua anggotanya.


Sementara di sesi selanjutnya, dua pembicara lain, dari FNPBI-PRM (Front Nasional Persatuan Buruh Indonesia- Politik Rakyat Miskin) Budi wardoyo dan Ketua GSPB, Sulaeman, menyampaikan buruh dalam berjuang haruslah bersatu. Tidak hanya di antara kaum buruh sendiri akan tetapi juga dengan sektor lain, bahkan juga dengan warga sekitar pabrik. Sebab, tidaklah mungkin perjuangan buruh akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat sekitar, juga dari sektor lain. Dikatakan Budi wardoyo, terdapat dua jenis hambatan bagi perjuangan buruh, yakni hambatan dari luar gerakan buruh dan dari dalam gerakan buruh. Dari luar buruh, Neoliberalisme semakin hari semakin menyengsarakan kaum buruh, sementara kini Negara dikuasai oleh kekuatan politik pro neo liberal dan anti buruh serta masih banyak lagi hambatan dari luar gerakan buruh lainnya seperti banyaknya PHK yang mengurangi anggota serikat buruh, belum adanya kekuatan politik yang cukup kuat untuk memperjuangkan kepentingan kaum buruh, belum terbangunnya persatuan di antara kekuatan kaum buruh, banyaknya LSM yang membuat serikat buruh tidak independen.

Hambatan dari dalam buruh sendiri tidak kalah hebatnya, yakni belum adanya terbitan/ Koran yang secara nasional menyatukan tindakan dan pandangan kaum buruh, belum munculnya tokoh-tokoh buruh yang cukup kuat terutama kaum buruh yang bekerja di pusat pusat modal (Perbankan, pertambangan, telekomunikasi, transportasi dll) sementara serikat buruh kuning masih mempunyai pengaruh yang kuat. Padahal, tegas Budi wardoyo gerakan buruh memiliki potensi untuk membesar. Jumlah buruh Indonesia semisal, sangatlah besar dan terkonsentrasi pada pemukiman-pemukiman serta tempat kerja. Tidak hanya itu, posisi kaum buruh jelas menentukan hidup matinya sistem kapitalisme. Hal itu semakin diperkuat dengan kembalinya ruh perjuangan kaum buruh, yaitu aksi massa.

Dari konferensi tersebut, para peserta menyampaikan kesulitan dalam mengorganisir kaum buruh. Banyak buruh, papar salah seorang peserta yang juga bekerja di PT.Buana mengungkapkan sulitnya mengorganisir kaum buruh. Selain karena tindak intimidasi dan ancaman dari perusahaan, kesadaran buruh untuk berorganisasi cenderung rendah. Hal itu terbukti dengan sulitnya mereka hadir dalam rapat-rapat atau pertemuan serikat buruh. Sering kali para buruh yang juga termasuk anggota serikat buruh, bersandar pada pimpinan serikat buruh. Para buruh, masih enggan untuk memperjuangkan nasibnya. Menanggapi mengenai masih rendahnya kesadaran buruh, salah seorang peserta yang berkerja di Mayora menuturkan, rendahnya kesadaran berorganisasi kaum buruh diakibatkan oleh ketidak tahuan mereka mengenai pentingnya berorganisasi. Sehingga, kaum buruh yagn sudah sadar wajib memberikan penyadaran berupa pendidikan, selebaran atau Koran, dan diskusi-diskusi yang massif. Hal itu penting, demi menguatnya gerakan buruh.

Demi keberhasilan perjuangan kaum buruh, maka dibutuhkan sebuah manajemen dan metode perjuangan yang tepat. Dengan demikian, sebuah organisasi yang militan bisa terbentuk sebagai alat perjuangan kuat serta mempunyai daya pukul yang mematikan bagi kapitalisme. Oleh sebab itu, Ata, sekjend GSPB mengusulkan sebuah metode perjuangan yakni metode radikalisasi 3 bulanan. Dalam metode tersebut, Ata menyampaikan, terdapat dua bentuk kerja. Kerja bertahap dan kerja simultan. Dalam kerja bertahap, ada 3 tahapan yakni: (1) Investigasi, (2) Penyadaran, (3) Mobilisasi. Tahap (1) Investigasi; merupakan tahap untuk melakukan investigasi mengenai persoalan yang dihadapi rakyat, juga respon rakyat akan persoalannya serta untuk mengetahui alasan rakyat melakukan perlawanan atau kah tidak. (2) Penyadaran; merupakan tahap untuk menentukan isian penyadaran berikut metodenya berdasarkan kesimpulan investigasi. (3) Mobilisasi; tahap terakhir ini merupakan ujian sekaligus mengukur keberhasilan dari dua tahap yang dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, massa harus terpastikan bahwa ia paham mengenai alasan terlibat aksi, tidak hanya sekedar ikut-ikutan. Sementara untuk kerja simultan, Ata memaparkan, ada tiga pekerjaan simultan yang mesti dilakukan, sebagai berikut: (1) Persatuan, (2) Perluasan, dan (3) Dana Juang. Selain kerja bertahap dan simultan, terdapat pula kerja tambahan seperti pembangunan kompartemen (pembangunan wadah budaya, perempuan dst), pendidikan kader maju serta Badan Unit Kontradiksi).

Metode yang disampaikan oleh Ata pun mendapat sambutan positif. Harapan akan pembesaran organisasi meluas. Cita-cita akan terwujudnya kemenangan buruh tergambar di depan mata. Namun, perjuangan baru saja dimulai dengan semangat baru. Pekikan “Hidup Buruh” kembali membahana. Semua peserta bersepakat untuk membangun organisasi yang militant dengan metode radikalisasi 3 bulanan. Tiada perjuangan yang mustahil, jika buruh memiliki cita-cita dan sejarah telah membuktikan! Sekali lagi pekikan penuh semangat terdengar di penjuru ruuangan.
Hidup Buruh!***

23 Juli 2008

Berjuang Itu Tidak Mustahil; Jika Punya Cita-cita

Rabu, 2008 Juli 23
Konferensi GSPB di Bekasi


Berjuang Itu Tidak Mustahil; Jika Punya Cita-cita[1]

Merebut Kendali Pabrik ke Tangan Persatuan Buruh—Belajar dari Perjuangan yang Berhasil

Zely Ariane[2]




A. Apa Cita-cita Perjuangan Buruh?

Silahkan kawan-kawan memikirkan dan memberikan pendapatnya.

B. Mengapa Harus Berjuang dan Membangun Gerakan?

* Tidak ada belas kasihan dari pengusaha/pemilik modal dan pemerintah/Negara, terhadap perubahan nasib buruh dan peningkatan nilai kemanusiaan kaum buruh (upah dan hak-hak normatif, status dan kondisi kerja, jam kerja yang lebih pendek—agar buruh dapat berekreasi dan memperluas pengetahuannya tentang dunia).

* Kepentingan buruh dan pengusaha/pemilik modal saling bertolak belakang (buruh ingin upah tinggi-pengusaha ingin upah rendah; buruh ingin kerja tetap-pengusaha ingin kerja kontrak; buruh ingin lebih punya waktu untuk berbahagia sebagai manusia-pengusaha mendesakkan lembur dengan upah yang tak setimpal dengan kehendak kebahagiaan buruh—malah banyak yang tidak diupah). Pendek kata: untuk setiap sen penambahan dan penumpukan (akumulasi) kekayaan para pemilik modal, mengharuskan pemotongan (lebih tepatnya pencurian) ribuan sen penghasilan dan hak buruh sebagai manusia.

* Buruh adalah bagian dari klas pekerja yang lebih berkepentingan (dan lebih tertarik) akan beroperasinya pabrik secara layak dan berkesinambungan—karena pada kenyataannya tangan dan pikiran buruhlah yang menjalankan pabrik.

* Perjuangan adalah nyawa kaum buruh; tanpa berjuang, hilanglah nilai kaum buruh sebagai manusia yang punya cita-cita dan berakal sehat (tak lebih dari sekedar mesin tak bernyawa dan tak berkehendak).

* Agar berhasil, perjuangan membutuhkan alat yang disebut organisasi dan metode yang disebut gerakan/pergerakan (yaitu mobilisasi keterlibatan kaum buruh dan rakyat miskin lainnya dalam suatu persatuan perlawanan yang memiliki cita-cita berkelanjutan). Seluruh perjuangan yang berhasil meningkatkan hak-hak buruh serta hak-hak rakyat miskin lainnya, selama ini, merupakan hasil dari gerakan—bukan belas kasihan/derma dari para pemilik modal dan pemerintah/negara.

* Organisasi yang profesional, militan (tidak gampang menyerah), dengan partisipasi penuh seluruh anggota dalam mengontrol (memegang kendali) arah dan jalannya organisasi, serta gerakan yang kuat dan berdaya pukul, adalah LEBIH PENTING DAN MENENTUKAN daripada seorang pemimpin yang dianggap baik.

C. Dua Contoh Persatuan Gerakan dan Keberhasilan Perjuangan[3]

* Gerakan internasional untuk Pengurangan jam kerja dari 12-10 jam/hari menjadi 8 jam/hari

Perjuangan demi jam kerja yang lebih pendek di Amerika Serikat (AS) dimulai pada abad ke-18, bahkan sebelum serikat buruh pertama terbentuk. Tujuan nya adalah sepuluh-jam (10 jam) kerja dalam sehari. Mereka berpendapat bahwa sepuluh-jam kerja dalam sehari dibutuhkan bukan saja untuk melindungi kesehatan para buruh, tapi juga karena jam kerja yang panjang dan melelahkan merupakan hambatan bagi perubahan yang lebih besar; yang memuakkan, kejam, dan tidak adil, yang memaksa cara kerja mekanik yang melelahkan/menguras tenaga fisik dan mental.

Perserikatan Buruh Internasional (The International Workingmen's Association), yang juga dikenal sebagai Internasional Pertama (First International), mengeluarkan pernyataan: “batas legal jam kerja merupakan syarat awal untuk perbaikan dan pembebasan kelas buruh... Fakta bahwa buruh di Eropa dan A.S. sedang menuntut dan mogok demi delapan jam-kerja, menunjukkan bahwa tuntutan tersebut sudah bersifat umum, maka selayaknyalah Kongres (AS) sah kemudian merubah tuntutannya menjadi ketentuan kebijakan tuntutan umum Buruh Sedunia.

Respon yang ampuh adalah membuat tuntutan jam kerja yang lebih pendek menjadi tuntuan internasional, yang diajukan oleh gerakan buruh nasional, sebagai jalan terbaik untuk menyanggah penolakan para majikan—yang mengatakan bahwa jika tuntutan tersebut disetujui maka, secara relatif, akan tidak menguntungkan bagi majikan di negeri satu ketimbang majikan di negeri lain.

The Federation of Organized Trades and Labor Unions of the United States and Canada/Federasi Serikat Pekerja Terorganisir Seluruh Amerika Serikat dan Kanada (Cikal Bakal Federasi Buruh Amerika Serikat—AFL), yang didirikan pada tahun 1881, dalam konvensinya pada tahun 1884, menyerukan untuk mengorganisir perjuangan tuntutan tersebut pada tanggal 1 Mei, 1886. Tuntutan ini diarahkan untuk mogok secara besar-besaran menentang majikan-majikan yang masih membangkang. Dan memang terjadi mogok besar-besaran pada hari itu.

Pemogokan tersebut memberikan landasan (konteks) bagi apa yang terjadi pada tanggal 4 Mei, 1886, yakni tragedi Lapangan Haymarket. Pada tanggal 4 Mei, pada penutupan pertemuan, mereka memprotes tindakan kekerasan yang dilakukan polisi dalam menghadapi pemogokan buruh¾satu kekuatan besar polisi bersenjata masuk ke lapangan dan memaksa pertemuan itu dihentikan. Sebelum ada satu tindakan apapun, sebuah bom dilempar ke arah massa aksi. Satu polisi meninggal saat itu juga; yang lainnya luka-luka. Polisi menjawabnya dengan menembaki buruh yang sedang berkumpul.

Pimpinan-pimpinan pengusaha dan pemerintah, yang takut akan peningkatan kekuatan gerakan buruh, mengambil keuntungan dari kejadian Haymarket. Polisi menangkap delapan orang pimpinan buruh dan mendakwanya melakukan pembunuhan terhadap seorang polisi di lapangan Haymarket, meskipun sebenarnya sebagian dari mereka bahkan tak hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka didakwa telah menyemangati pelemparan bom melalui pidato-pidatonya. Kedelapan yang ditangkap tersebut kemudian dinyatakan bersalah dalam suatu pengadilan yang sangat curang; empat orang dihukum gantung, yang satu nampaknya bunuh diri. Tiga lainnya yang selamat akhirnya diampuni. Martir perisatiwa Haymarket kemudian menjadi simbol Hari Buruh 1 Mei (May Day).

Walupun terdapat penidasan yang sangat sering, gerakan buruh berlanjut dengan serangan-tuntutan delapan jam kerja. AFL, pada konvensinya tahun 1888, menyetujui resolusi yang menargetkan 1 Mei, 1890, sebagai hari bagi buruh untuk melancarkan aksi pemogokan demi mencapai tujuannya. Kampanye pendidikan dan organisasional, termasuk demonstrasi, dilaksanakan sebagai persiapan sebelum pelaksanaan agenda 1 Mei tersebut.

Karena tak sanggup mengorganisir pemogokan umum pada tanggal 1 Mei, AFL akhirnya memutuskan suatu strategi agar satu kelompok buruh bertugas menyebarluaskan perjuangan tersebut. Pada tahun 1890, sektor tukang kayu lah yang memulainya. Buruh lainnya diminta mogok kalau mereka sanggup, tapi seluruh buruh didorong untuk menunjukkan dukungannya terhadap tuntutan tersebut. Buruh terus melihat 8 jam kerja sebagai sutu langkah di dalam perjuangan yang lebih besar untuk menentang kapitalisme. Pengertian tersebut ditunjukkan oleh slogan yang dipampangkan pada spanduk yang dibawa oleh para demonstran New York (dalam pertemuannya): TAK ADA LAGI MAJIKAN—PERBUDAKAN UPAH HARUS BERAKHIR DAN 8 JAM PERHARI ADALAH LANGKAH SELANJUTNYA DALAM GERAKAN BURUH PERSEMAKMURAN SOSIALIS (SEBAGAI TUJUAN AKHIRNYA).

Terdapat pemogokan yang lebih banyak/besar pada tanggal 1 Mei, 1890, ketimbang yang pernah ada sebelumnya dalam sejarah A.S.. Hari tersebut juga merupakan bukti kesanggupan buruh melakukan aksinya menjadi hari aksi internasional. Pemogokan dan demontrasi terjadi di kota-kota industri utama di dunia.

Tapi, saat waktu berlalu, kemenangan demi kemenangan, sebagaimana juga kekalahan demi kekalahan—dan bahkan lebih banyak penindasan—lambat laun melemahkan gerakan dan tradisi yang dapat menghidupkan semangat revolusioner Hari Buruh 1 Mei. Pemerintah A.S. mengabadikan Hari Buruh 1 Mei dengan satu hari libur, yang katanya akan menginspirasikan negeri-negeri lainnya, dan mengajukannnya sebagai hari libur resmi di A.S. Pada tahun 1995, pemerintah A.S. mengumumkan Hari Buruh 1 Mei sekadar sebagi Hari Penghormatan (Loyalty Day).

Walaupun kapitalis dan para pendukungnya tak lagi takut akan Hari Buruh 1 Mei, para aktivis masih bisa belajar sejumlah pelajaran penting dari sejarah perjuangan menuntut hari kerja yang lebih pendek. Di antara yang sangat penting adalah: tuntutan spesifik (khusus) untuk perubahan harus lah ditempatkan dalam konteks yang lebih besar dan revolusioner (mendasar). Solidaritas harus dibangun dengan menggarisbawahi kepedulian nasional bersama dan menciptakan kerangka untuk menghubungkannya secara nasional. Dan, keberhasilan kampanye akhirnya tergantung pada kekuatan gerakan-gerakan yang memajukannya

* Perlawanan Terhadap Pabrik-pabrik Kecil yang Buruk Kondisi Kerja dan Upahnya

Perlawanan terhadap pabrik-pabrik kecil yang buruk kondisi kerja dan upahnya (anti-sweatshop) dimulai pada tahun 1990-an di Amerika Serikat, sejumlah kelompok mulai mengarahkan sasaran pada perusahaan-perusahaan yang menjual busana dan alas kaki seperti GAP dan Nike karena praktek-praktek brutal sub-kontraktornya yang beroperasi di dunia ketiga. Praktek-praktek yang disoroti tersebut termasuk mempekerjakan buruh anak, kondisi-kondisi kerja yang tidak aman dan biadab, upah yang tak mencukupi, penindasan anti-serikat buruh, dan jam kerja yang semena-mena. Para aktivis anti-sweatshop membangun koalisi dengan serikat buruh, kelompok-kelompok komunitas dan hak-hak azasi manusia, dan LSM dunia ketiga untuk mengorganisir demonstrasi-demonstrasis dan boikot konsumen untuk menuntut keadilan bagi buruh dunia ketiga.

Namun demikian, semua perusahaan terus menolak meningkatkan upah dan hak-hak mendirikan serikat buruh. Secara umum, semua industri busana dan alas kaki terkemuka telah memfokuskan enerjinya dalam mencoba menyingkirkan issue tersebut dari pandangan umum dengan menggunakan Fair Labor Association/Asosiasi Hubungan Kerja yang Adil (FLA). FLA didirikan pada tahun 1998 sebagai hasil pertemuan—yang diselenggarakan oleh Gedung Putih (kantornya Presiden AS)—yang di dalamnya termasuk perusahaan-perusahaan, serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok hak-hak azasi manusia dan keagamaan. Bertentangan dengan janjinya semula, FLA jelas-jelas hanya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan besar (korporat). Tak ada yang dikerjakannya untuk menjamin upah yang layak atau jam kerja yang manusiawi; sistim pengawasan yang dibentuknya dikuasai oleh perusahaan dan terbatas ruang lingkup kerjanya; dan mekanisme pemaksanya hampir-hampir tak ada.

Di bawah payung United Students Againts Sweatshops/Persatuan Mahasiswa Melawan Buruknya Kondisi Kerja dan Upah (USAS), para mahasiswa menuntut produk-produk berlisensi-sekolah harus diproduksi di bawah syarat yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan buruh di negeri-negeri dunia ketiga[4]. Itu artinya buruh harus dibayar sesuai dengan standar hidup negeri-tertentu, mempunyai hak untuk berserikat tanpa rasa takut mendapatkan tindakan balasan, dan menikmati kondisi kerja yang aman. Walaupun sejumlah akedemi dan universitas setuju menandatangani kode etik pelaksanaan (codes of conduct) yang sesuai dengan tuntutan tersebut, namun tak ada mekanisme untuk menjamin kepatuhan perusahahaan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, USAS membangun organisasi pengawasan sendiri (yang mendapat masukan dari kelompok-kelompok hak-hak azasi manusia di dunia ketiga), Worker Rights Consortium/Konsorsium Hak-hak Buruh (WRC). Mahasiswa-mahasiswa tersebut sekarang bekerja untuk memaksa sekolah-sekolahnya keluar dari FLA dan bergabung dengan WRC.

Dikobarkan oleh aksi-aksi anti-WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) di Seattle, para mahasiswa melancarakan aksi duduk dan penutupan sekolah (yang militan dan bersemangat tinggi) seperti di universitas-universitas seperti University of Johns Hopkins, University of Michigan, University of Oregon, University of Pennsylvania, University of Wisconsin. Beberapanya berhasil dimenangkan. Pada bulan Februari, 2000, University of Pensylvania telah menjadi sekolah pertama yang keluar dari FLA, tak lama kemudian diikuti oleh University of Wisconsin dan University of Johns Hopkins. Pada bulan yang sana, University of Michigan, University of Indiana dan Obelin College setuju bergabung dengan WRC.

Para aktivis mahasiswa juga bekerja keras untuk menempatkan gerakan anti-sweatshop dalam konteks politik yang lebih luas. Contohnya, Komite aksi Mahasiswa-buruh di University of Johns Hopkins menuntut tak hanya universitasnya keluar dari FLA dan bergabung dengan WRC, tapi juga setuju untuk membayar upah yang layak terhadap semua kerja di Johns Hopkins sendiri (termasuk yang dipekerjakan oleh sub-kontraktor), dan mendirikan komite gabungan untuk mengawasi praktek perburuhan di sekolahan. Sampai bulan April, 2000, kemenangan-kemenangannya adalah termasuk mundurnya University of John Hopkins dari FTA dan komitmen untuk meningkatkan upah buruh yang dibayar paling rendah, sebagaimana juga memberikan laporan tentang kebijakan-kebijakan konpensasi/ penggajian setiap tahunnya. Mahasiswa-mahasiwa tersebut juga memenangkan dukungan dari kelompok pengorgnisasian masyarakat, SMA setempat, serikat-serikat buruh, gereja, dan dewan kota. Mereka bisa memaksa sekolah mereka sebagai majikan (swasta) pertama yang menerapkan kesepakatan upah yang layak.

D. Kendali Buruh terhadap Produksi (di Pabrik) adalah Kunci Perubahan Nasib Buruh

Pernahkah disela-sela waktu kerja yang padat, kawan-kawan buruh sempat berfikir: “mengapa barang-barang/jasa yang diproduksi oleh kaum buruh (yang sangat berlimpah) justru tidak dapat dinikmati (dibeli) oleh kaum buruh sendiri?”. Mari kita fikirkan dan jawab hal tersebut bersama-sama.

Barang-barang yang berlimpah tersebut selalu mahal harganya (kalaupun ada yang murah—seperti barang-barang dari China, pasti dengan kualitas yang jelek). Mahalnya harga disebabkan oleh kepemilikan modal ditangan segelintir kapitalis (pemilik modal). Harga ditentukan oleh para kapitalis raksasa/yang bermodal besar/korporat. Dan produksi barangpun ditentukan oleh para kapitalis berdasarkan kehendak untuk terus menerus memperbesar keuntungan dan modalnya; bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Itulah yang disebut sebagai segitiga kapitalisme, yakni: (1) kepemilikan pribadi, (2) eksploitasi buruh, (3) produksi untuk profit. Makanya jangan heran kalau, misalnya, HP Nokia terus menerus produksi yang baru—dan konsumen digoda untuk mengganti HP’nya, padahal jenis HP sebelumnya masih baik berfungsi, dan konsumen belum tentu butuh barang-barang baru tersebut.

Oleh karena itulah, kendali (kontrol) terhadap produksi harus dilakukan, agar barang diproduksi sesuai kebutuhan dan terjangkau oleh masyarakat. Untuk bisa melakukannya, maka perlawanan terhadap kapitalisme mutlak dibutuhkan dengan (1) kepemilikan sosial, (2) produksi sosial yang dirganisir oleh buruh, dan (3) produksi berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Di dalam tulisan ini, kita akan khusus membahas mengenai syarat, proses dan kendala contoh-contoh pengalaman keberhasilan produksi (di pabrik) yang berada di bawah kendali persatuan buruh. Tentu saja syarat, tipe, dan metode berikut ini akan berbeda-beda antara antara satu tempat dengan tempat lainnya, tergantung kondisi objektif dan subjektif perjuangan rakyatnya.

a. Syarat-syarat keberhasilan pengendalian produksi pabrik oleh buruh:

o Buruh harus sadar bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha/majikan/pemilik modal, bukanlah hubungan yang setara/harmonis dan tidak akan bisa setara/harmonis. Hubungan tersebut bersifat eksplotatif (pengusaha memiliki dan memeras tenaga kerja buruh tanpa hak-hak/imbalan yang setimpal).

o Adanya persatuan kaum buruh yang sadar bahwa alat produksi (dalam hal ini adalah pabrik) harus berada dibawah kendali buruh (rakyat pekerja), bukan kendali para pemilik saham/modal.

o Adanya persatuan buruh yang punya cita-cita lebih maju dari sekadar perjuangan pemenuhan hak-hak normatif—yang tidak akan tuntas jika kaum buruh tidak mengambil alih kontrol pabrik hingga kekuasaan negara.

o Adanya persatuan gerakan (buruh dengan berbagai elemen rakyat miskin dan pro-demokratik) yang luas menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan swasta penting bagi Negara, untuk kemudian diserahkan kendalinya pada persatuan/dewan-dewan buruh.

o Adanya persatuan gerakan membangun alat politik alternatif yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat untuk merebut kekuasaan.

o Kekuasaan baru yang harus menjalankan program pemusatan seluruh sumber pembiayaan dalam negeri untuk membiayai kebutuhan darurat rakyat dan pengembangan industri nasional; pengambilalihan industri vital dibawah kendali rakyat; demokrasi yang mendorong partisipasi aktif rakyat.

o Kontrol buruh harus berskala nasional dan diperluas agar dapat mengatasi semua kepentingan kapitalis; bukan diorganisir secara insidental, tanpa sistem; namun terencana baik dan tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan kehidupan industri negeri. Oleh sebab itulah persatuan antar buruh-buruh dari pabrik-pabrik yang sudah diambil allih dengan organisasi-organisasi rakyat lainnya, mutlak diperlukan.

b. Proses pengambilalihan kendali dan jenis-jenis pengelolaan pabrik di tangan buruh

o Di Venezuela, suatu negeri sosialis yang baik pada rakyatnya, proses pengambilalihan (nasionalisasi) terhadap industri yang penting bagi Negara dan perusahaan yang ditinggalkan oleh para pengusahanya; sudah dan sedang terus dilakukan. Sebelumnya, pengalaman serupa juga pernah dilakukan negeri-negeri lain (baik yang berhasil maupun yang gagal) seperti Rusia (setelah Revolusi 1917), Yugoslavia, Kuba, Argentina, dan Brazil. Masing-masing pengalaman tersebut akan ditulis di dalam tulisan yang berbeda dengan lebih detail. Dalam kesempatan ini, kita akan sedikit membedah pengalaman di Venezuela.

o Pengambilalihan kendali pabrik oleh pemerintah Venezuela dilakukan dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama dimulai tahun 2007 dengan fokus pengambilalihan terhadap sektor-sektor perusahaan listrik, telekomunikasi, dan perminyakan, sebagai bagian dari perjuangan menuju sosialisme. Gelombang kedua dilakukan terhadap sector konstruksi dan makanan, yakni: industri semen (meliputi hampir 40 pabrik), peternakan dan industri susu—melanjutkan pengambilalihan terhadap 32 lahan pertanian berskala besar. Sedangkan industri seperti mineral, metal, bauksit, batubara, dan baja, memang tidak pernah diprivatisasi (dijual ke tangan swasta).

o Sejak pemerintahan Hugo Chavez berhasil memenangkan kekuasaan pada tahun 1998, berbagai paket perundang-undangan yang melindungi hak serta partisipasi buruh (dan rakyat miskin) diterapkan. Hasilnya, dihampir seluruh perusahaan, berbagai serikat baru tingkat pabrik berkembang. Hukum perundang-undangan yang baru memungkinkan kaum buruh menyelenggarakan referendum (penentuan pendapat) untuk memutuskan siapa yang akan menjalankan perjanjian bersama (semacam PKB) di pabrik, yang kemudian membuka kesempatan bagi lapisan pejuang buruh militan untuk muncul dan mengambil tanggung jawab.

o Di tahun 2005, banyak pabrik yang tutup dan diambilalih serta dijalankan oleh pekerja. Sebanyak 800 pabrik tutup diseluruh negeri (kebanyakan karena ditinggal oleh pengusaha yang anti Chavez), dan sejak November 2006 lebih kurang 1200 pabrik sudah diambilalih oleh kaum buruh. Namun di tahun 2008, hanya sedikit yang bisa bangkit kembali, dan dalam beberapa kasus, dikelola dibawah manajemen koperasi buruh atau ada juga yang gagal beroperasi.

o Pendudukan Pabrik Pengelola Limbah Padat di Merida. Di bulan September 2007, setelah memperoleh gaji, kaum buruh pabrik tersebut menduduki instalasi pabrik dan menuntut agar pemilik perusahaan angkat kaki, kemudian mereka mengambilalih kantor dan menuntut agar administrasi pabrik tersebut berhenti.

o Re-nasionalisasi Pabrik Baja SIDOR di kawasan Industri Guayana. SIDOR adalah salah satu industri baja raksasa paling penting di Venezuela dan Amerika Latin. Setelah mengambil alih pabrik, dan dekrit Presiden Chavez melegalkan pengambilalihan tersebut tgl 9 April 2008, mayoritas kaum buruh menunjukkan efisiensi yang lebih baik dalam produksi dan pelayanan sosial, daripada yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis transnasional dan nasional manapun. Dalam masa kejayaannya, kaum buruh menunjukkan kemampuannya dalam menggandakan level produksi. Sambil menunggu Negara mengambil alih administrasi pabrik, sejak 10 April 2008, kaum buruh dibeberapa bagian mulai terorganisir ke dalam komite-komite pengawasan dan kontrol pabrik—tepat sebelum dimulainya sabotase pemilik lama terhadap sistem informasi. Tujuannya adalah untuk menghambat sabotase peralatan, kontrol produksi, dan serangan dari supervisor atau para bos lainnya. Kehendak para pekerja SIDOR adalah mengelola produksi dan administrasi perusahaan tersebut. Mereka juga mempersiapkan proposal mengenai pengelolaan SIDOR yang baru, yang menyatakan bahwa pengelolaan oleh buruh tidaklah mustahil bahkan bisa lebih baik dan efisien dengan hasil yang baik.

o Pengelolaan Perusahaan Listrik CADAFE. CADAFE adalah perusahaan milik Negara yang memroduksi 60% listrik Venezuela dengan 34.000 pekerja. Setelah perjuangan panjang memenangkan hak untuk berpartisipasi di dalam kontrak perjanjian, serta mendirikan dewan-dewan buruh untuk membuatnya menjadi kenyataan, manajemen perusahaan mulai menghancurkan partisipasi riil buruh, membatasinya hanya pada keputusan-keputusan yang tidak penting. Bagian dari birokrasi yang masih korup dan pro-kapitalis di pemerintahan Chavez-lah yang menyebabkan kekalahan tersebut. Banyak proposal yang diajukan oleh kaum buruh menyangkut pengelolaan pabrik, namun, sangat sedikit yang diterapkan. Dari lima-anggota komite koordinasi yang dibentuk untuk pengelolaan bersama, dua posisi dicadangkan untuk ditunjuk dan tidak bisa di recall. Presiden perusahaan tersebut juga tidak diarahkan untuk menerima instruksi dari badan tersebut. Pihak manajemen mengatakan bahwa tidak perlu ada partisipasi kaum buruh dalam industri strategis.

Sementara itu, terdapat jenis pengelolaan yang berbeda terjadi di anak perusahaan CADAFE, Cadela-Mérida di Zona Andean. Disana terdapat partisipasi bersama antara pekerja, para eksekutif, dan organisasi komunitas setempat. Presiden Cadela dinominasikan dan dipilih oleh mayoritas kaum buruh di lokasi tersebut. Pelayanan meningkat, keuntungan juga lebih tinggi, dan layanan pekerjaan diberikan ke banyak koperasi (lebih dari 375 koperasi hingga akhir 2004)—daripada memberi kontrak pelayanan ke perusahaan swasta. Jenis kendali buruh atas produksi antara CADAFE dan anak perusahaannya Cadela-Merida, memiliki perbedaan yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

o Pengelolaan Pabrik Keramik Sanatarios Maracay[5]. Setelah persatuan buruh berhasil mengambil alih pabrik, mereka mulai menjual barang-barang persediaan dan meminta bantuan masyarakat. Produksi pun dimulai kembali. Mereka mulai membentuk dewan-dewan buruh, sebuah mekanisme demokratik pekerja untuk mengelola pengoperasian pabrik dan manajemen asset sehari-hari. Disamping berbagai kesulitan, mereka terus maju, dan menuntut nasionalisasi penuh dari pemerintah—termasuk meminta bantuan pemerintah dalam pemasaran barang-barang keramik terkait program pemerintah untuk pembuatan perumahan untuk orang miskin. Mereka juga menjual hasil produksi kepada masyarakat dengan harga yang terjangkau. Setiap minggu, pekerja yang bekerja lembur mendapatkan paket sembako; dan pembayaran gaji juga dilakukan.

o Pengelolaan Pabrik Kertas INVEVAL. Dimulai tahun 2005, pabrik kertas milik kapitalis yang bangkrut ini diambilalih oleh pemerintahan Chavez dengan suktikan modal sebesar $7 juta. Perusahaan ini diorganisir sebagai perusahaan-yang-dimiliki buruh, yakni keadilan kepemilikan antara buruh (51%) dan pemerintah (49%). Peningkatan penghasilan dari produksi akan digunakan oleh kaum buruh untuk kemudian membeli saham pemerintah, dan hanya akan menyisakannya sebanyak 1% saja. Pemilikan semacam ini menyebabkan kontroversi di kalangan buruh dan aktivis sosialis, yang menganggap bahwa kepemilikan buruh tersebut tidak ada bedanya dengan kepemilikan kapitalis—hanya beda dalam jumlah pemilik saja. Oleh sebab itulah FRETECO (Front Revolusioner Pekerja Pabrik-pabrik dibawah Kendali Buruh) menuntut pengambilalihan penuh oleh pemerintah.

Terdapat Dewan Buruh yang terdiri dari Majelis Umum Pekerja (pembuat keputusan tertinggi) di pabrik, serta Komisi Permanen yang dipilih untuk posisi-posisi seperti Keuangan, Formasi Politik dan Sosial, Komisi Teknik, Administrasi, Disiplin, Keamanan dan Kontrol, serta Pelayanan. Seluruh orang yang dipilih dapat dipecat melalui sidang Majelis Umum Dewan Buruh. Untuk mengatasi pemisahan kerja intelektual atau admisitratif dengan kerja manual, mereka merotasi berbagai jenis pekerjaan, mengombinasikannya dengan diskusi politik di dalam dewan buruh, pendidikan untuk pengembangan kolektif, pelatihan-pelatihan teknik.

Pengalaman lain yang penting adalah hubungan dewan buruh dengan komunitas setempat. Tidak saja pabrik menyediakan ruang bagi program-program pendidikan dan kesehatan komunitas, namun juga dewan buruh berpartisipasi dalam dewan komunal setempat. Dewan buruh mengirimkan delegasi ke dewan komunal, begitupun sebaliknya, yang dapat diterapkan juga dalam skala federasi dewan buruh dan dewan komunal yang lebih luas dalam rangka untuk membangun struktur-struktur kekuasaan rakyat sejati.

o Pabrik Alumunium ALCASA. Bisnis kapitalis yang berdiri sejak tahun 1967 ini mulai melaksanakan praktek manajemen buruh di tahun 2005—juga atas dukungan Chavez. Proses ini ditandai dengan pendirian majelis buruh terbuka, pendiskusian 18 poin proposal untuk meluncurkan kembali pabrik, serta proses pemilihan manajemen baru melalui pemilihan tertutup. Dari 2700 pekerja di ALCASA, 95% berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Kaum buruh juga memilih 36 juru bicara bersama dengan manajemen untuk membuat keputusan. Proses manajemen ini sudah berjalan tiga tahap, dan berhasil meningkatkan produksi, dan meningkatkan kondisi kerja. Tahap kedua difokuskan untuk pengembangan manajemen dan startegi baru perusahaan. Dalam tahap ketiga diskusi dan perdebatan menyangkut memanusiawikan tenaga kerja, termasuk pengurangan hari kerja, demokrasitisasi pengetahuan untuk mengurangi pembagian kerja sosial di dalam pabrik, serta desentralisasi keputusan melalui pembangunan dewan-dewan buruh.

Untuk itu mereka membangun pusat pelatihan sosial politik, sehingga kaum buruh dapat terlibat dalam proses yang ada. Pada awalnya para pekerja kerap dituduh sebagai komunis, garis keras atau sejenisnya. Namun sedikit demi sedikit kaum buruh mulai terlibat dalam pelatihan tersebut, dan kini beberapa ratus buruh mulai terlibat.

ALCASA tetap dimiliki oleh Negara. Berbeda dengan INVEVAL, dewan buruh di pabrik ini tidak menghendaki model manajemen yang mendistribusikan modal kepada seluruh pekerja atau mendekatkan buruh dengan modal, atau pembagian saham diantara mereka. Menurut mereka manajemen bersama tersebut tidak dibatasi hanya pada perusahaan semata, namun harus meliputi pengelolaan bersama dengan komunitas sosial masyarakat. Walaupun untuk yang terakhir ini belum tampak keberhasilan signifikan.

Sebelum pengelolaan ini dimulai, banyak diantara buruh yang mengatakan semua pimpinan dan para direktur harus dipecati. Tapi menurut dewan buruh hal tersebut adalah hal paling akhir yang akan mereka lakukan—bahkan bisa menjadi bencana jika dilakukan. Karena pengalaman pemecatan 2000 manajer di PDVSA (Perusahaan Minyak Negara) telah membuat banyak kesulitan dalam pengelolaan dan produksi pabrik hingga saat ini. Mereka sedang membangun proses dari bawah, pemilihan di tiap workshops, dalam tiap grup delagasi juru bicara. Suatu sistem pemilihan langsung, kontrol dan akuntabilitas, penggiliran tugas, dst.

Tim kepemimpinan juga semakin meluas. Untuk setiap satu orang pimpinan lama, mereka memilih tiga orang baru. Kemudian terdapat 300 delegasi jurubicara yang dipilih dari tingkat paling bawah oleh buruh. Belakangan ini, setap departemen memiliki “dewan administratif” dengan juru bicara yang dipilih di tiap tim untuk mendiskusikan dan merencanakan persoalan-persoalan produksi.

c. Kendala-kendala pengendalian pabrik oleh buruh

o Pemilik pabrik lama seringkali memecah persatuan serikat buruh dengan membuat serikat buruh tandingan yang anti terhadap kontrol buruh di pabrik.

o Dalam beberapa kasus, perusahaan-perusahaan yang ditinggal kabur pemiliknya juga meninggalkan hutang yang harus ditanggung oleh manajemen buruh yang baru. Hutang-hutang atau tagihan bisa mengancam kelancaran produksi.

o Bahan mentah menyusut dan tanpa modal, kredit, dan legitimasi yang sah, maka akan sulit diperoleh kembali.

o Kultur/kebudayan buruh yang masih terbelakang, yakni ketika buruh bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang, dan tidak sedikitpun punya visi untuk membangun ekonomi negeri dan menciptakan tatanan masyarakat baru.

o Polarisasi dan fragmentasi yang tajam antara seriakat-seriakt buruh yang berbeda-beda.

o Satu perusahaan yang berada dibawah kendali buruh, terletak ditengah-tengah kawasan industri yang masih berorientasi kapitalis.

o Represi hingga penculikan dan pembunuhan oleh aparat keamanan dan pasukan preman bayaran terhadap serikat buruh yang melakukan pengambilalihan pabrik.

o Sabotase pabrik, penghancuran mesin-mesin, menghentikan layanan listik, air dan gas oleh aparat-aparat bayaran.

o Pencurian mesin-mesin bahan mentah di pabrik.

o Kelelahan berjuang akibat proses yang tidak selalu berlangsung cepat.

o Kesulitan pemasaran tanpa bantuan masyarakat dan pemerintah

o Tidak berjalannya proses partisipasi mayoritas buruh membuat lambatnya produksi berjalan; serta lemahnya kekuatan dewan buruh.

o Aristokrasi buruh—buruh yang bermental kapitalis ketika sudah memiliki alat produksi.

o Sindikalisme—pengelolaan pabrik hanya untuk pabrik-pabrik itu sendiri; tidak bersedia berada dalam satu perencanaan pengelolaan bersama secara nasional.

Kehidupan ekonomi negeri—pertanian, industri, perdagangan, transportasi—harus berada dalam sebuah perencanaan terpadu yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial masyarakat luas; hal tersebut harus disetujui oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat dan kaum buruh, dan dijalankan di bawah arahan perwakilan tersebut melalui organisasi-organisasi nasional dan lokal. Pengambilalihan pabrik dibawah kendali buruh bermakna sebagai SEKOLAH PERENCANAAN EKONOMI suatu negeri, bukan semata-mata penambahan isi kantung buruh.

E. Maknanya Bagi Perjuangan Buruh Indonesia

Ditengah kehancuran industri nasional, dan kapasitas mayoritas pekerja Indonesia yang rendah—akibat puluhan tahun tidak memperoleh hak-hak pendidikan yang layak dari Negara, perjuangan untuk mengambil kendali pabrik ke tangan kaum buruh, adalah pekerjaan yang sukar. Tapi TIDAK MUSTAHIL, apabila semakin banyak kelompok-kelompok buruh dan persatuan-persatuan buruh yang sadar akan cita-cita perjuangan buruh jangka panjang, yakni membangun suatu tatanan masyarakat yang adil secara ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Dengan kesadaran, maka selayaknyalah kaum buruh berani berjuang membela martabatnya sebagai manusia pekerja, yang berhak atas segala keindahan dan kebahagiaan di dunia. ***





[1] Suatu sumbangan semangat dan pemikiran (yang belum selesai) untuk Konferensi Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB).

[2] Koordinator Urusan Propaganda dan Pendidikan Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM); Koordinator Pendidikan dan Bacaan Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika; Juru Bicara Hands off Venezuela-Indonesia (HoV Indonesia http://indonesia.handsoffvenezuela.org); Koordinator Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL): www.amerikalatin.blogspot.com; Juru Bicara Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD): http://kprm-prd.blogspot.com; http://kprm-peoples-democratic-party.blogspot.com.

[3] Diringkas dari artikel Setelah Seattle, Pemikiran Strategis dalam Membangun Gerakan, oleh Martin Hart-Landsberg. Ia mengajar ilmu ekonomi di Lewis and Clark College di Portland, Oregon. Dia, bersama Paul Burkett, adalah penulis dari Development, Crisis and Class Struggle: Learning from Japan and East Asia (St. Martin's Press, 2000 ).

[4] Negeri-negeri yang tingkat kesejahteraan rakyatnya rendah akibat penjajahan ekonomi para pemilik modal-raksasa-asing (Perusahaan Multi-Nasional/Trans-Nasional—MNCs-TNCs).

[5] Lihat film dokumenter NO VOLVERAN tentang proses pengambilalihan pabrik keramik ini.

14 Juli 2008

Saatnya Semua Buruh Berpartisipasi Dalam Merubah Keaadan.

Senin, 2008 Juli 14
Saatnya Semua Buruh Berpartisipasi Dalam Merubah Keaadan.


(Wawancara dengan Bung Ata, Sekum Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh)


Saya mendengar, tanggal 20 juli nanti GSPB akan melakukan konolidasi. Apa yang melandasi konsolidasi GSPB ?

Konsolidasi GSPB kali ini, berangkat dari situasi obyektif yang di hadapi oleh kaum buruh, bukan saja kaum buruh di Bekasi melainkan kaum buruh di seluruh Indonesia, di mana serangan-serangan Neoliberalisme dalam berbagai bentuk kebijakan, terus menerus mendesak kesejahteraan kaum buruh ke titik yang paling rendah. Kita tahu, baru-baru ini Pemerintah menaikan harga BBM, yang kemudian menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi lebih tinggi (sebelum kenaikan BBM, sebenarnya harga kebutuhan pokok sudah naik). Dengan tingkat Upah Minimum sekarang ini, kenaikan harga ini jelas membuat kaum buruh semakin miskin. Belum lagi masalah sistem kerja outsourcing yang saat ini makin merajalela, hampir di semua persuahaan, besar atau kecil, garmen atau otomotif, modal asing atau modal dalam negeri, menggunakan buruh outsourcing. Kita tahu sistem outsourcing ini sangat merugikan kaum buruh karena menghilangkan kepastian kerja, menekan pendapatan kaum buruh, menghilangkan perlindungan terhadap kaum buruh dan lain sebagainya. Semenjak UU 13/2003 di berlakukan, sistem Outsourcing menjadi trend para pengusaha untuk meningkatkan keuntungan, di sisi lain, kaum buruh di korbankan. Situasi inilah yang membuat kami dari GSPB untuk segera melakukan konsolidasi, merapatkan kembali barisan, agar kedepan lebih sanggup melawan berbagai kebijakan yang merugikan kaum buruh, apalagi partai-partai politik yang ada saat ini, tidak ada satupun yang membela secara sungguh-sungguh kepentingan kaum buruh, bahkan serikat-serikat buruh besarpun sudah banyak yang pimpinan-pimpinannya menjadi alat pengusaha atau pemerintah.


Ya, nampaknya memang begitu. Lantas apa tema konsolidasi GSPB?

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, dengan situasi seperti itu, maka tanggung jawab terbesar saat ini untuk melakukan perubahan sejati ada pada tangan kaum buruh itu sendiri. Yang saya maksud dengan kaum buruh, artinya seluruh buruh Indonesia, karena banyak kasus, di mana kaum buruh menyerahkan tanggung jawan perubahan pada pengurus serikat buruh atau pada pengacara, bahkan untuk persoalan-persoalan di luar tempat kerja (misal kenaikan harga BBM), kaum buruh seolah-olah meyerahkan tanggung jawab kepada mahasiswa saja.

Jelas ini merupakan pandangan yang salah, karena sekalipun buruh di serikatnya telah membayar iuran anggota ( sambil tersemyum, Bung Ata juga menyampaikan bahwa masih banyak juga buruh yang tak membayar iuran), namun bukan berarti tanggung jawab untuk berjuang, dibebankan pada pengurus serikat buruh saja, atau pada mahasiswa saja untuk persoalan yang lebih umum. Bayangkan, dengan jumlah pengurus yang katakanlah hanya 10-20 orang berhadapan dengan para pengusaha atau berhadapan dengan pemerintah? Bagaimana mungkin bisa memperoleh kemenagan yang signifikan? Memang betul, bahwa dalam perundingan dengan pihak pengusaha, tidak semua buruh bisa ikut berunding, namun tanpa peran aktif dari semua anggota, perundingan yang dilakukan sangat lemah daya tawarnya, bahkan kadang tidak membuahkan hasil karena pengusaha bertele-tele atau bebal. Bisa juga pengusaha kemudian melakukan upaya pecah belah, adu domba jika anggota serikat buruh tidak solid.

Dalam persoalan yang lebih besar, kita tahu perundingan saja tidak cukup, harus ditambah dengan aksi-aksi massa. Kenaikan harga BBM kemarin adalah contoh nyata, bahwa dengan perundingan, tidak ada hasil yang di dapat, bahkan setelah melakukan banyak demontrasipun, pemerintah tidak bergeming. Apa kesimpulannya? Bukan karena metode demonstrasi adalah metode yang salah, melainkan karena demontrasi kemarin kurang besar, kurang berani. Coba bayangkan jika mayoritas kaum buruh ketika ada rencana kenaikan harga BBM, secara serentak melakukan pemogokan dan aksi-aksi ke pusat kekuasaan, yang di pabrik mogok kemudian rally ke Istana. Para supir anggkutan mogok, para buruh BUMN melakukan mogok di tempat kerjanya masing-masing, apakah pemerintah tetap akan nekad menaikan harga BBM?

Kuncinya adalah partisipasi aktif semua anggota, dan wujud pasrtisipasi yang paling berpengaruh adalah aksi massa atau pemogokan. Serikat Buruh tanpa Aksi Massa/Pemogokan, tidak punya roh perjuangan.

GSPB dalam konsolidasi kali ini, mengambil tema “ Menguatkan dan Membesarkan GSPB untuk Perubahan Sejati” dengan tekanan pada “Partisipasi Aktif Semua Anggota”

Sejauh ini persiapannya seperti apa ?

Kita sudah melakukan banyak pertemuan di semua level, dari pengurus sampai anggota. Dalam pertemuan-pertemuan ini, kita mengharapkan adanya gagasan-gagasan segar mengenai taktik, metode pembangunan serikat buruh yang kuat. Dari sekitar 8 Pebrik yang menjadi basisi kami di Bekasi, rata-rata telah melakukan pertemuan-pertemuan ini.

Panitia juga telah mengedarkan formulir kesediaan bagi anggota yang mau terlibat dalam konsolidasi ini, karena kita tidak mau, para peserta ini datang karena merasa di wajibkan, yang kita inginkan adalah kawan-kawan datang dengan sukarela, dengan semangat untuk berjuang. Memang tidak mudah, karena kita melakukan konsolidasi ditengah banyak anggota yang dipaksa perusahaan untuk melakukan kerja lembur, belum lagi di sebagian anggota ada yang berpikir seperti yang saya katakan tadi, persoalan perjuangan adalah tanggung jawab pengurus, anggota cukup membayar iuran saja.

Sejauh ini, sudah lebih dari 100 orang yang mendaftarkan diri untuk mengikuti konsolidasi ini, dan kami berharap bisa lebih banyak orang lagi, namun ada persoalan lain yang bisa mengurangi jumlah peserta, yakni persoalan dana, yang sampai saat ini belum sepenuhnya terpenuhi. Mungkin panitia akan melakukan berbagai upaya pemangkasan di beberapa pos yang memang bisa dikurangi pengeluarannya, atau dengan cara meminta sumbangan sukarela ke anggota, di luar sumbangan yang telah mereka bayarkan sebelumnya.

Apa saja yang akan di bicarakan dalam konsolidasi ?

Kita mebagi menjadi 3 bagian besar, yang petama adalah mengenai hambatan-hambatan kesejahteraan kaum buruh saat ini dan potensi-potensi perlawanannya. Yang di maksud dengan hambatan, bukan saja yang berasal dari intenal buruh itu sendiri, melainkan juga yang muncul dari luar, seperti kebijakan-kebijakan Pemerintah ataupun Pengusaha yang merugikan kaum buruh, kita akan mengupas ini selama kurang lebih 1-2 jam.

Yang kedua, kita akan membicarakan perubahan-perubahan kesejahteraan kaum buruh yang terjadi di berbagai negara agar ada inspirasi baru bagi perjuangan kedepan, kita menamakan tema sesi ini “perubahan itu bisa” Kita akan mengambil contoh di negara seperti Venezuela misalnya, yang pada bulan mei (tepat pada Hari Buruh Sedunia), pemerintahnya menaikan upah minimum buruh sebesar 30 %, yang dalam mata uang rupiah, upah minimum tersebut mencapai 3,4 juta rupiah setahun(klik di sini). Belum harga BBM di Venezuela yang “cuma” sebesar Rp 372(klik di sini). Kita akan mempelajari, kenapa ini bisa terjadi. Kita juga akan mengambil contoh-contoh lain, dari negara lainnya, mungkin Kuba juga akan kita diskusikan, karena sejauh ini, pendidikan dan kesehatan di Kuba adalah salah satu yang terbaik, dan yang paling penting, tidak biaya yang dipungut alias gratis(klik di sini). Belum lagi, di setiap pabrik ada buruh yang kerjanya membacakan buku atau koran untuk buruh-buruh lainnya selama mereka bekerja, agar para buruh selalu mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru(klik di sini). Ini luar biasa, jika di bandingkan dengan di negara kita, yang buruh-buruhnya di suguhi lagu-lagu yang tidak berpegaruh terhadap peningkatan intelektualitas, selain hanya sebatas hiburan.

Sesi ketiga atau yang terkahir, baru kita akan membicarakan apa saja langkah-langkah perjuangan GSPB ke depan, baik perjuangan di tingkat pabrik maupun perjuangan di luar pabrik. Sesi ini akan mengambil waktu yang lebih banyak di bandingkan dengan dua sesi sebelumnya. Dalam sesi ini, kita juga akan membicarakan bagaimana membangun persatuan yang lenih kokoh dengan serikat-serikat buruh lainnya, bagimana memperkuat Aliansi Buruh Menggugat, karena kita menyadari tanpa persatuan yang kokoh, rasanya sangat berat bagi kaum buruh untuk mendapatkan kemenangan. Tentu saja kita juga akan membicarakan banyak hal lainnya.

Jika ada kawan-kawan yang inging menghubungi GSPB, bisa menghubungi ke mana?

Sekretariat GSPB saat ini, berada di Jl Lapangan Bekasi Tengah No 16, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. No Telp Sektretariat GSPB : 021 88353230. Kita sangat terbuka dengan kedatangan kawan-kawan di sekretariat GSPB, bukan hanya kawan-kawan anggota, juga kawan-kawan dari serikat lainnya.